Kajian Safiinah An Najah📙
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
BAB : Hal-hal yang Haram Dilakukan Ketika Tidak Suci
Lafadz Arob
(فصل) مَنِ نْتَقَضَ وُضُوْ ءُهُ حَرُمَ عَلَيْه ِاَرْبَعَةُ اَشْيَا ءَ: الصَّلاَةُ، وَالطَّوَافُ، وَمَسُّ الْمُصْحَفِ، وَحَمْلُهُ.
وَيَحْرُمُ عَلىَ الْجُنُبِ سِتَّةُ اَشْيَاءَ : الصَّلاَةُ، وَالطَّوَافُ، وَمَسًُّ الْمُصْحَفِ، وَحَمْلُهُ، وَاللُّبْثُ فِي الْمَسْجِدِ، وَقِرَاءَةُالْقُرْاَنِ،
وَيَحْرُمُ بِالْحَيْضِ عَشَرَةُ اَشْيَاءَ:الصَّلاَةُ، وَالطَّوَافُ، وَمَسًُّ الْمُصْحَفِ، وَحَمْلُهُ، وَاللُّبْثُ فِي ِالْمَسْجِدِ، وَقِرَاءَةُالْقُرْاَنِ، والصَّوْمُ، وَالطَّلاَقُ، وَالْمُرُوْرُفِي ِالْمَسْجِدِ اِنْ خَا فَتْ تَلْوِيْثَهُ، وَلْاسْتِمْتَاعُ بِمَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَة.ِ
Lafadz Latin
Terjemah :
"Seseorang yang rusak/batal wudhunya diharamkan melakukan empat perkara :
1. Solat
2. Towaf
3. Menyentuh mushaf
4. Membawa mushaf
Dan diharamkan bagi orang yang junub melakukan enam perkara:
1. Solat
2. Thowaf
3. Menyentuh mushaf
4. Membawa mushaf
5. Berdiam diri di masjid
6. Membaca al qur'an
Dan diharamkan bagi orang yang haid atas sepuluh perkara :
1. Solat
2. Thowaf
3. Menyentuh mushaf
4. Membawa mushaf
5. Berdiam diri di masjid
6. Membaca al qur'an
7. Berpuasa
8. Thalaq
9. Melewati masjid bila takut menetesi
10. Mengambil kenikmatan(bermain") di antar bagian tubuh pusar sampai lutut
RANGKUMAN PERTANYAAN & JAWABAN
1. Pertanyaan:
Bagi orang yang haid atau junub kalau baca alqur'an tapi diniati dzikir apa jg harom hukumnya?
✍ Jawaban:
📚 حاشية البجيرمي
تَنْبِيهٌ : يَحِلُّ لِمَنْ بِهِ حَدَثٌ أَكْبَرُ أَذْكَارُ الْقُرْآنِ وَغَيْرُهَا كَمَوَاعِظِهِ وَأَخْبَارِهِ وَأَحْكَامِهِ لَا بِقَصْدِ الْقُرْآنِ كَقَوْلِهِ عِنْدَ الرُّكُوبِ : { سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ } أَيْ مُطِيقِينَ ، وَعِنْدَ الْمُصِيبَةِ : { إنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ } وَمَا جَرَى بِهِ لِسَانُهُ بِلَا قَصْدٍ فَإِنْ قَصَدَ الْقُرْآنَ وَحْدَهُ أَوْ مَعَ الذِّكْرِ حُرِّمَ ، وَإِنْ أَطْلَقَ فَلَا .
Hukumnya terperinci:
1. Bila membaca al-Qur'an diniati memang bermaksud membacanya, maka haram.
2. Bila membaca diniati untuk baca Al-Qur'an dan yg lainnya maka juga dihukumi haram.
3. Bila membaca diniati selain untuk membaca al-Qur'an seperti untuk menjaga hafalan, membaca zikirnya, kisah-kisah, mauizah, hukum-hukum, maka diperbolehkan, seperti jika ada org meninggal: Innalillillah wa... Maka boleh.
4. Bila membaca al-Qur'an karena keceplosan maka diperbolehkan.
5. Bila membaca al-Qur'an diniati secara mutlak, yakni sekedar ingin membaca tanpa ada maksud membaca Al-Qur’an atau apapun yg lain maka boleh.
2. Pertanyaan:
Di syarah safinatunnaja kn di jlskn Bhwa, di haramkn bagi org junub menyentuh mushaf, yg di maksud mushaf itu bagaimana, lh apps.qur'an di gadget itu trmsuk mushaf apa tdk? lh bgmn hukum.ny bagi org yg junub menyentuh / membuka apps tsb?
✍ Jawaban:
Kalau memegang tulisan alquran yang ada pada layar Hp atau PC memang tidak masalah tanpa adanya wudhu karena tulisan alquran yang ada dalam HP/PC hanya merupakan pancaran yang di hasilkan dari sinar bukan tulisan.
وَيُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّهُ لَوْ نَقَشَ الْقُرْآنَ عَلَى خَشَبَةٍ وَخَتَمَ بِهَا الْأَوْرَاقَ بِقَصْدِ الْقِرَاءَةِ وَصَارَ يَقْرَأُ يَحْرُمُ مَسُّهَا ، وَلَيْسَ مِنْ الْكِتَابَةِ مَا يُقَصُّ بِالْمِقَصِّ عَلَى صُورَةِ حُرُوفِ الْقُرْآنِ مِنْ وَرَقٍ أَوْ قُمَاشٍ فَلَا يَحْرُمُ مَسُّهُ ا هـ قَوْلُ الْمَتْنِ
Tuhfah Almuhtaaj II/132
3. Pertanyaan:
Yg saya tanyakan di sini adlh bahwa pd saat tidak suci "haid" itu di haramkan 'berdiam diri di masjid',
Maksud berdiam diri di masjid itu gmna? Apa sekedar duduk di masjid, ato gimana?
Lah semisal ada kasus kayak gini, di masjid itu ada peringatan misal mauludan/ isra' mi'raj, lah tempat.ny itu di masjid, bkn di luar masjid (masih dlm batas suci) lah yg menghadiri umum, pas waktu itu misal kita lagi udzur, hukum.ny itu gmna?
Tolong berikan alasan yg logis, n juga kasih referensi, klo ada hadits sertakan juga😇
Sekian terima kasih😊
✍ Jawaban:
🔘 Diperbolehkan seorang wanita yg sedang haidl untuk mengahdiri pengajian dimasjid dgn syarat karna dirinya yakin bahwa darah yg keluar tidak akan mengotori masjid...
1.Yg di maksud brdiam diri di masjid itu masuk di dalemnya (njerone) masjid, memang tidak di bolehkan krna tkut drahnya mnetes. Kalau di luarya(njobone)/terasnya masjid boleh.
2. adapun menghadiri kegiatan semisal pengajian atau dll, itu boleh.
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
WAG santri indobesia F
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
Pertanyaan :
Bagaimana hukum membaca Al-qur'an bagi seorang wanita yang sedang haid??
Jawab :
📝 Mengenai hukum wanita haidh membaca al-Qur'an, dalam mazhab syafi'iyah terdapat tujuh pembahasan :
1. Bila membaca al-Qur'an diniati untuk membaca al-Qur'annya maka haram.
2. Bila membaca al-Qur'an diniati untuk membaca al-Qur'annya besertaan niat lainnya maka juga dihukumi haram.
3. Bila membaca al-Qur'an diniati selain untuk membaca al-Qur'an seperti untuk menjaga hafalan, membaca zikirnya, kisah-kisah, mauizah, hukum-hukum, maka diperbolehkan.
4. Bila membaca al-Qur'an karena kelepasan bicara maka diperbolehkan.
5. Bila membaca al-Qur'an diniati secara mutlak, yakni sekedar ingin membaca tanpa niat tertentu maka diperbolehkan.
6. Bila membaca al-Qur'an diniati secara mutlak atau niat selain al-Qur'an, namun yang dibaca adalah susunan kalimat khas al-Qur'an atau satu surat panjang atau keseluruhan al-Qur'an maka khilaf. Menurut an-Nawawi, ar-Ramli Kabir, dan Ibnu Hajar diperbolehkan, sedangkan bagi az-Zarkasyi dan as-Suyuthi diharamkan.
7. Bila membaca al-Qur'an diniatkan pada salah satunya tanpa dijelaskan yang mana maka khilaf. Menurut qaul mu'tamad diharamkan sebab adanya kemungkinan niat pada bacaan al-Qur'an.
Sedangkan dalam mazhab malikiyah boleh bagi wanita haidh membaca al-Qur'an. Lebih jelasnya tentang hal ini terdapat dua pembahasan:
>> 1.Boleh secara mutlak, yakni ketika membacanya dalam kondisi darah haidh sedang merembes keluar.
>> 2.Tidak diperbolehkan sebelum mandi hadats, yakni ketika membacanya dalam kondisi darah haidh sedang mampet. Kecuali bila khawatir lupa, atau kecuali dengan menengok pada qaul dha'if yang memperbolehkannya asalkan haidhnya tidak disertai junub.
Berikut uraian selengkapnya dari kitab Hasyiyah al-Bujairimi 'ala al-Iqna' karya Sulaiman bin Umar bin Muhammad al-Bujairimi :
( وَ ) الثَّالِثُ ( قِرَاءَةُ ) شَيْءٍ مِنْ ( الْقُرْآنِ ) بِاللَّفْظِ أَوْ بِالْإِشَارَةِ مِنْ الْأَخْرَسِ كَمَا قَالَ الْقَاضِي فِي فَتَاوِيهِ ، فَإِنَّهَا مُنَزَّلَةٌ مَنْزِلَةَ النُّطْقِ هُنَا وَلَوْ بَعْضَ آيَةٍ لِلْإِخْلَالِ بِالتَّعْظِيمِ ، سَوَاءٌ أَقَصَدَ مَعَ ذَلِكَ غَيْرَهَا أَمْ لَا لِحَدِيثِ التِّرْمِذِيِّ وَغَيْرِهِ : { لَا يَقْرَأْ الْجُنُبُ وَلَا الْحَائِضُ شَيْئًا مِنْ الْقُرْآنِ }
الشَّرْحُ قَوْلُهُ : ( وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ ) وَعَنْ مَالِكٍ : يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ ، وَعَنْ الطَّحَاوِيِّ يُبَاحُ لَهَا مَا دُونَ الْآيَةِ كَمَا نَقَلَهُ فِي شَرْحِ الْكَنْزِ مِنْ كُتُبِ الْحَنَفِيَّةِ
"Keharaman sebab haid yang ketiga adalah membaca sesuatu dari al-Qur’an, dengan diucapkan atau dengan isyarah dari orang bisu, seperti yang dikatakan Qadhi Husein dalam Fatawinya. Mengingat konteks isyarah diletakkan pada konteksnya hukum berucap pada permasalahan ini, meskipun yang dibaca hanyalah sebagian ayat saja dikarenakan hal itu menunjukkan pada unsur penghinaan. Baik bacaan itu diniati bersama dengan niat yang lain ataupun tidak, berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi dan lainnya, “Orang yang sedang junub dan orang yang haid tidak diperbolehkan membaca sesuatu dari al-Qur’an.
Komentar pensyarah: [Membaca al-Qur’an] dari Imam Malik dijelaskan bahwa diperbolehkan bagi perempuan haid membaca al-Qur’an. Dan dari Ath-Thahawi diterangkan bahwa diperbolehkan bagi dia untuk membaca al-Qur’an namun kurang dari satu ayat, seperti yang dia kutipkan dalam Syarah Al-Kanzu dari kitabnya mazhab Hanafi." (Hasyiyah Bujairimi, 3/259-261)
تَنْبِيهٌ : يَحِلُّ لِمَنْ بِهِ حَدَثٌ أَكْبَرُ أَذْكَارُ الْقُرْآنِ وَغَيْرُهَا كَمَوَاعِظِهِ وَأَخْبَارِهِ وَأَحْكَامِهِ لَا بِقَصْدِ الْقُرْآنِ كَقَوْلِهِ عِنْدَ الرُّكُوبِ : { سُبْحَانَ الَّذِي سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ } أَيْ مُطِيقِينَ ، وَعِنْدَ الْمُصِيبَةِ : { إنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إلَيْهِ رَاجِعُونَ } وَمَا جَرَى بِهِ لِسَانُهُ بِلَا قَصْدٍ فَإِنْ قَصَدَ الْقُرْآنَ وَحْدَهُ أَوْ مَعَ الذِّكْرِ حُرِّمَ ، وَإِنْ أَطْلَقَ فَلَا .
كَمَا نَبَّهَ عَلَيْهِ النَّوَوِيُّ فِي دَقَائِقِهِ لِعَدَمِ الْإِخْلَالِ بِحُرْمَتِهِ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكُونُ قُرْآنًا إلَّا بِالْقَصْدِ قَالَهُ النَّوَوِيُّ وَغَيْرُهُ ، وَظَاهِرُهُ أَنَّ ذَلِكَ جَارٍ فِيمَا يُوجَدُ نَظْمُهُ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ كَالْآيَتَيْنِ الْمُتَقَدِّمَتَيْنِ وَالْبَسْمَلَةِ وَالْحَمْدَلَةِ ، وَفِيمَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ إلَّا فِيهِ كَسُورَةِ الْإِخْلَاصِ وَآيَةِ الْكُرْسِيِّ ، وَهُوَ كَذَلِكَ ، وَإِنْ قَالَ الزَّرْكَشِيّ : لَا شَكَّ فِي تَحْرِيمِ مَا لَا يُوجَدُ نَظْمُهُ فِي غَيْرِ الْقُرْآنِ ، وَتَبِعَهُ عَلَى ذَلِكَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ كَمَا شَمِلَ ذَلِكَ قَوْلَ الرَّوْضَةِ ، أَمَّا إذَا قَرَأَ شَيْئًا مِنْهُ لَا عَلَى قَصْدِ الْقُرْآنِ فَيَجُوزُ .
الشَّرْحُ
قَوْلُهُ : ( تَنْبِيهٌ إلَخْ ) هَذَا التَّنْبِيهُ بِمَنْزِلَةِ قَوْلِهِ مَحَلُّ حُرْمَةِ الْقِرَاءَةِ إذَا كَانَتْ بِقَصْدِ الْقُرْآنِ أَوْ بِقَصْدِ الْقُرْآنِ وَالذِّكْرِ ، و َإِلَّا فَلَا حُرْمَة .
قَوْلُهُ : ( يَحِلُّ إلَخْ ) كَلَامُهُ فِي الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ فَدُخُولُ غَيْرِهِمَا مَعَهُمَا اسْتِطْرَادِيٌّ تَأَمَّلْ ق ل .
قَوْلُهُ : ( كَمَوَاعِظِهِ ) أَيْ مَا فِيهِ تَرْغِيبٌ أَوْ تَرْهِيبٌ .
قَوْلُهُ : ( وَأَخْبَارِهِ ) أَيْ عَنْ الْأُمَمِ السَّابِقَةِ .
قَوْلُهُ : ( وَأَحْكَامِهِ ) أَيْ مَا تَعَلَّقَ بِفِعْلِ الْمُكَلَّف .
قَوْلُهُ : ( وَمَا جَرَى بِهِ لِسَانُهُ بِلَا قَصْدٍ ) بِأَنْ سَبَقَ لِسَانُهُ إلَيْهِ .
قَوْلُهُ : ( وَإِنْ أَطْلَقَ فَلَا ) كَمَا لَا يَحْرُمُ إذَا قَصَدَ الذِّكْرَ فَقَطْ ، فَالصُّوَرُ أَرْبَعَةٌ يَحِلُّ فِي ثِنْتَيْنِ ، وَيَحْرُمُ فِي ثِنْتَيْنِ وَأَمَّا لَوْ قَصَدَ وَاحِدًا لَا بِعَيْنِهِ فَفِيهِ خِلَافٌ ، وَالْمُعْتَمَدُ الْحُرْمَةُ ؛ لِأَنَّ الْوَاحِدَ الدَّائِرَ صَادِقٌ بِالْقُرْآنِ فَيَحْرُمُ لِصِدْقِهِ بِهِ . قَوْلُهُ : ( لَا يَكُونُ قُرْآنًا إلَخْ ) أَيْ لَا يَكُونُ قُرْآنًا تَحْرُمُ قِرَاءَتُهُ عِنْدَ وُجُودِ الصَّارِفِ إلَّا بِالْقَصْدِ ، وَإِلَّا فَهُوَ قُرْآنٌ مُطْلَقًا ، أَوْ الْمَعْنَى لَا يُعْطَى حُكْمَ الْقُرْآنِ إلَّا بِالْقَصْدِ ، وَمَحَلُّهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِي صَلَاةٍ كَأَنْ أَجْنَبَ وَفَقَدَ الطَّهُورَيْنِ وَصَلَّى لِحُرْمَةِ الْوَقْتِ بِلَا طُهْرٍ ، وَقَرَأَ الْفَاتِحَةَ ، فَلَا يُشْتَرَطُ قَصْدُ الْقُرْآنِ ، بَلْ يَكُونُ قُرْآنًا عِنْدَ الْإِطْلَاقِ لِوُجُوبِ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ فَلَا صَارِفَ فَاحْفَظْهُ وَاحْذَرْ خِلَافَهُ كَمَا ذَكَرَهُ ابْنُ شَرَفٍ عَلَى التَّحْرِيرِ .
"(Tanbih): Diperbolehkan bagi orang yang mempunyai hadats besar untuk membaca dzikir al-Qur’an dan yang lainnya, seperti mauizhahnya, cerita, dan hukum yang ada di dalam al-Qur’an, dengan tidak diniatkan pada al-Qur’annya. Seperti perkataanya ketika naik kendaraan :
(سبحان الذي سخر لنا هذا و ما كنا له مقرنين)
dan ketika mendapat musibah dia mengucapkan :
(إنا لله و إنا اليه راجعون).
Serta pada apa yang tanpa dikehendaki terucap oleh lisannya. Namun jika dia memaksudkan al-Qur’an saja atau memaksudkan al-Qur’an beserta dzikirnya, maka diharamkan. Kemudian jika dia memutlakkannya maka tidak diharamkan, sesuai dengan peringatan an-Nawawi dalam kitab Daqaiq, sebab tidak ada unsur penghinaan pada kemuliaan al-Qur'an di sini. Memandang bahwasanya al-Qur'an tidak akan diberlakukan hukum al-Qur'an kecuali ketika dengan wujudnya niat.
Secara zahir pendapat tersebut berlaku baik pada ayat yang bisa ditemukan susunan kalimatnya di luar al-Qur'an semisal dua ayat di atas, juga basmalah dan al-fatihah. Serta pada ayat yang tidak akan ditemukan susunan kalimatnya selain di al-Qur'an semisal surat al-Ikhlas dan ayat kursi. Benarlah demikian, meski az-Zarkasyi berpendapat tidak diragukannya keharaman pada ayat yang tidak akan ditemukan susunan kalimatnya selain di al-Qur'an. Pendapat az-Zarkasyi ini dianut oleh sebagian ulama mutaakhirin.
Keterangan an-Nawawi tentang kemutlakan tersebut juga terkandung dalam kitab ar-Raudhah. Sedangkan ketika membaca al-Qur'an itu tidak diniatkan pada membaca al-Qur'annya maka diperbolehkan.
Komentar pensyarah :
[Tanbih dst.] Tanbih ini menempati perkataan mushannif, “Tempat keharaman membaca al-Qur’an adalah ketika dalam pembacaan itu dengan maksud al-Qur’an atau dengan maksud al-Qur’an dan dzikir. Jika tidak memaksudkan dengan itu semua maka tidak diharamkan."
[Diperbolehkan dst.] Pembahasan penulis tentang wanita haidh dan nifas, namun bisa dikonfirmasikan juga pembahasan selain keduanya. Cermatilah. (al-Qulyubi)
[Seperti mauizhah] Yakni perkara tentang anjuran dan ancaman.
[Cerita] Yakni dari kisah umat terdahulu.
[Dan hukum yang ada di dalam al-Qur'an] Yakni perkara yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf.
[Serta pada apa yang tanpa dikehendaki terucap oleh lisannya] Dengan kelepasan bicara.
[Kemudian jika dia memutlakkannya maka tidak diharamkan] Sebagaimana tidak pula diharamkan ketika diniatkan pada dzikirnya saja. Sehingga bisa disimpulkan ada empat situasi pembacaan al-Qur'an di sini. Dua diperbolehkan, dan dua lainnya diharamkan.
Sedangkan ketika dia meniatkan pada salah satunya namun tanpa dijelaskan yang mana maka hukumnya khilaf. Menurut qaul Mu'tamad dihukumi haram. Sebab unsur salah satunya bisa dimungkinkan niat pada al-Qur'annya sehingga diharamkan memandang adanya kemungkinan tersebut. [Al-Qur'an tidak akan diberlakukan hukum al-Qur'an dst.] Yakni ketika muncul qarinah pembeda maka tidak dianggap sebagai al-Qur'an yang haram dibaca kecuali dengan wujudnya niat. Atau bisa juga diartikan tidak diberlakukan hukum al-Qur'an kecuali dengan wujudnya niat. Konteks ini mengesampingkan pada kasus shalat, semisal pada orang junub yang tidak bisa bersuci dengan wudhu dan tayammum, lantas dia shalat li hurmatil waqti, membaca al-Fatihah, maka tidak berlaku persyaratan niat membaca al-Qur'an. Bahkan tetap dianggap sebagai hukum bacaan al-Qur'an ketika dimutlakkan sebab tidak ada qarinah pembeda di sini. Camkanlah dan hati-hati terhadap kesalahpahaman tentang hal itu, sebagaimana dituturkan oleh an-Nawawi dalam kitab at-Tahrir." 📕(Hasyiyah al-Bujairimi, 1/259-264).
Elaborasi tentang khilafiyah Imam Malik dituturkan dalam kitab al-Mausu'ah:
وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْحَائِضَ يَجُوزُ لَهَا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فِي حَال اسْتِرْسَال الدَّمِ مُطْلَقًا ، كَانَتْ جُنُبًا أَمْ لاَ ، خَافَتِ النِّسْيَانَ أَمْ لاَ . وَأَمَّا إِذَا انْقَطَعَ حَيْضُهَا ، فَلاَ تَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ حَتَّى تَغْتَسِل جُنُبًا كَانَتْ أَمْ لاَ ، إِلاَّ أَنْ تَخَافَ النِّسْيَانَ .
هَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ عِنْدَهُمْ ، لأَنَّهَا قَادِرَةٌ عَلَى التَّطَهُّرِ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ ، وَهُنَاكَ قَوْلٌ ضَعِيفٌ هُوَ أَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا انْقَطَعَ حَيْضُهَا جَازَ لَهَا الْقِرَاءَةُ إِنْ لَمْ تَكُنْ جُنُبًا قَبْل الْحَيْضِ . فَإِنْ كَانَتْ جَنْبًا قَبْلَهُ فَلاَ تَجُوزُ لَهَا الْقِرَاءَةُ .
"Kalangan malikiyah berpendapat bahwa wanita haidh diperbolehkan membaca al-Qur'an di masa sedang keluarnya darah haidh secara mutlak, baik disertai junub maupun tidak, entah karena khawatir lupa ataupun tidak. Sedangkan di masa darah haidh sedang berhenti maka tidak diperbolehkan membaca al-Qur'an sampai dia mandi bersuci, baik kondisinya disertai junub maupun tidak, kecuali bila khawatir lupa (maka boleh membaca, pen).
Pendapat di atas adalah qaul mu'tamad, sebab seorang wanita dipandang mampu bersuci dalam kondisi darah sedang berhenti tersebut. Namun dalam hal ini ada qaul dha'if yang berpendapat seorang wanita ketika darahnya sedang berhenti tetap diperbolehkan membaca al-Qur'an asalkan kondisinya tidak disertai junub sebelum haidh. Ketika sebelum haidh telah disertai junub maka tidak diperbolehkan membaca al-Qur'an (sampai dia mandi bersuci, )"
📕 (al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah, 18/322).
Pertanyaan:
Saya pernah denger...klu ada yg bilang dalam keaadaan gak berwudhu boleh baca Al Qur'an
Ada yang bisa bantu jelaskan???
Jawab :
📝 KONDISI YANG MEMBOLEHKAN MEMEGANG DAN MEMBAWA ALQURAN TANPA WUDHU
---
Oleh : Ust. Masaji Antoro (Admin)
الشافعية قالوا : يجوز مس المصحف وحمله كلا أو بعضا بشروط : أحدها : أن يحمله حرزا ثانيها : أن يكون مكتوبا على درهم أو جنيه ثالثها : أن يكون بعض القرآن مكتوبا في كتب العلم للاستشهاد به ولا فرق في ذلك بين أن تكون الآيات المكتوبة قليلة : أو كثيرة أما كتب التفسير . فإنه يجوز مسها بغير وضوء بشرط أن يكون التفسير أكثر من القرآن فإن كان القرآن أكثر فإنه لا يحل مسها . رابعها : أن تكون الآيات القرآنية مكتوبة على الثياب كالثياب التي تطرز بها كسوة الكعبة ونحوها خامسها : أن يمسه ليتعلم فيه . فيجوز لوليه أن يمكنه من مسه
وحمله للتعلم . ولو كان حافظا له عن ظهر غيب . فإن تخلف شرط من هذه الشروط فإنه يرحم مس القرآن . ولو آية واحدة
*************************************
Kalangan Syafiiyyah berpendapat bolehnya memegang dan membawa alQuran meski tanpa memakai wudhu bila memenuhi persyaratan berikut ini ;
>> Membawanya dalam sesuatu yang dapat menjaga Quran (dalam tas, koper dll. dengan ketentuan tidak niat membawa Quran secara langsung
>> Tertulis pada mata uang baik Dinar atau dirham
>> Tertulis untuk dalil penguat yang terdapat pada kitab-kitab ilmu pengetahuan baik ayat yang tertulis sedikit ataupun banyak.
Sedang mengenai memegang dan membawa Tafsir Quran ditinjau dari banyak dan sedikitnya tafsir Qurannya, bila uraian tafsirnya lebih banyak ketimbang alqurannya boleh dipegang dan dibawa, bila lebih sedikit tidak boleh.
>> Tertulis pada pakaian yang disulam seperti pada kelambu ka’bah
>> Memegang dan membawanya untuk belajar
Maka diperkenankan bagi seorang wali memberi kesempatan pada anaknya memegang dan membawa alQuran meskipun anaknya sudah menghafalnya.
Bila salah satu ketentuan ini tidak terpenuhi maka tidak diperkenankan memegang dan membawa alQuran tanpa memakai wudhu meskipun hanya satu ayat dan dengan penghalang (tidak memegangnya secara langsung).
📕 alFiqh ‘alaa Madzaahib al-Arba’ah I/48
-------------------
( المالكية قالوا : يشترط لحل مس المصحف أو بعضه بدون وضوء شروط : أحدها : أن يكون مكتوبا بلغة غير عربية أما المكتوب بالعربية فلا يحل مسه على أي حال ولو كان مكتوبا بالكوفي أو المغربي أو نحوهما ثانيها : أن يكون منقوشا على درهم أو دينار أو نحوهما مما يتعامل به الناس دفعا للمشقة والحرج ثالثها : أن يتخذ المصحف كله أو بعضه حرزا فإنه يجوز له أن يحمله بدون وضوء وبعضهم يقول : يجوز له حمل بعضه حرزا أما حمله كله حرزا بدون وضوء فهو ممنوع ويشترط لحمله حرزا شرطان : الأول : أن يكون حامله مسلما الثاني : أن يكون المصحف مستورا بساتر يمنع من وصول الأقذار إليه رابعها : أن يكون حامله معلما أو متعلما
فيجوز لهما مس المصحف بدون وضوء ولا فرق في ذلك بين المكلف وغيره حتى ولو كانت امرأة حائضا وفيما عدا ذلك فإنه لا يجوز حمله
Kalangan Malikiyyah berpendapat bolehnya memegang atau membawa baik secara keseluruhan atau sebagian mushaf alQuran tanpa wudhu bila memenuhi ketentuan
>> Tertulis dengan selain bahasa arab
>> Terukir dalam dinar, dirham atau hal-hal yang biasa dipergunakan untuk niaga karena untuk menghindari adanya masyaqqat dan dosa sebab sulitnya menghindarinya
• Tersimpan dalam sesuatu yang terjaga
Sebagian kalangan ini berpendapat “Boleh membawa quran dalam sesuatu yang terjaga bila hanya sebagian quran saja didalamnya namun bila kesemua yang terdapat dalam quran tetap tidak boleh membawanya tanpa wudhu
Dalam bolehnya membawa mushaf alquran dalam sesuatu yang terjaga menurut kalangan Malikiyyah di syaratkan ;
=> Pembawanya Muslim
=> Alqurannya tertutup dengan sesuatu yang dapat mencegah dari kotoran.
• Pembawanya pengajar atau pelajar Quran
Boleh bagi mereka berdua membawa mushaf alQuran meski tanpa wudhu baik bagi yang sudah mukallaf atau belum bahkan bagi wanita haid sekalipun.
alFiqh ‘alaa Madzaahib al-Arba’ah I/48
Saya pernah dengar batal wudhunya suami istri yang bersentuhan
Terus saya pernah baca hadist di bawah ini,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ ثُمَّ يُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ
Dari Aisyah, sesungguhnya Nabi itu sering mencium salah seorang istri kemudian beliau langsung shalat tanpa mengulang wudhu (HR Nasai no 170 dan dinilai shahih oleh al Albani).
mohon penjelasan hukum yang benar....
Jawab:
📝 Menurut madzhab Syafi'i, persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang tidak terdapat hubungan mahrom diantara keduanya dan dilakukan dengan tanpa ada penghalang itu membatalkan wudhu, termasuk persentuhan kulit antara suami dan istri.
Ibarot :
📕 Fathul Qorib, Hal : 39-40
ﻓﺼﻞ : ﻓﻲ ﻧﻮﺍﻗﺾ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ، ﺍﻟﻤﺴﻤﺎﺓ ﺃﻳﻀﺎ ﺑﺄﺳﺒﺎﺏ
ﺍﻟﺤﺪﺙ. )ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻳﻨﻘﺾ( ﺃﻱ ﻳﺒﻄﻞ )ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﺳﺘﺔ
ﺃﺷﻴﺎﺀ ( - ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝ ) - ﻭ ( ﺍﻟﺮﺍﺑﻊ )ﻟﻤﺲ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ
ﺍﻷﺟﻨﺒﻴﺔ( ﻏﻴﺮ ﺍﻟﻤﺤﺮﻡ ﻭﻟﻮ ﻣﻴﺘﺔ. ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﺎﻟﺮﺟﻞ
ﻭﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺫﻛﺮ ﻭﺃﻧﺜﻰ ﺑﻠﻐﺎ ﺣﺪ ﺍﻟﺸﻬﻮﺓ ﻋﺮﻓﺎ؛ ﻭﺍﻟﻤﺮﺍﺩ
ﺑﺎﻟﻤﺤﺮﻡ ﻣﻦ ﺣﺮﻡ ﻧﻜﺎﺣﻬﺎ ﻷﺟﻞ ﻧﺴﺐ ﺃﻭ ﺭﺿﺎﻉ ﺃﻭ
ﻣﺼﺎﻫﺮﺓ . ﻭﻗﻮﻟﻪ : )ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺣﺎﺋﻞ ( ﻳﺨﺮﺝ ﻣﺎ ﻟﻮ ﻛﺎﻥ
ﻫﻨﺎﻙ ﺣﺎﺋﻞ ﻓﻼ ﻧﻘﺾ ﺣﻴﻨﺌﺬ
📕 Al-Fiqhul Manhaji, Juz : 1 Hal : 62-63
ﻭﻳﻨﺘﻘﺺ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﺑﺨﻤﺴﺔ ﺃﺷﻴﺎﺀ : - ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝ-
ﻟﻤﺲ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺯﻭﺟﺘﻪ ﺃﻭ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻷﺟﻨﺒﻴﺔ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺣﺎﺋﻞ،
ﻓﺈﻧﻪ ﻳﻨﺘﻘﺾ ﻭﺿﻮﺅﻩ ﻭﻭﺿﻮﺅﻫﺎ ﻭﺍﻷﺟﻨﺒﻴﺔ ﻫﻲ ﻛﻞ
ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻳﺤﻞ ﻟﻪ ﺍﻟﺰﻭﺍﺝ ﺑﻬﺎ. ﻗﺎﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻓﻲ ﺑﻴﺎﻥ
ﻣﻮﺟﺒﺎﺕ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ) : ﺃﻭ ﻻﻣﺴﺘﻢ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ( ]ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ :
.[42 ﺃﻱ ﻟﻤﺴﺘﻢ ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﻗﺮﺍﺀﺓ ﻣﺘﻮﺍﺗﺮﺓ
📕 Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-
Kuwaitiyyah, Juz : 17 Hal : 117
ﺍﻟﺘﻘﺎﺀ ﺑﺸﺮﺗﻲ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻭﺍﻟﻤﺮﺃﺓ
ﺟﻤﻬﻮﺭ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻭﺍﻟﺤﻨﺎﺑﻠﺔ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ
ﻟﻤﺲ ﺑﺸﺮﺗﻲ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﻭﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺣﺪﺙ ﻳﻨﻘﺾ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ
ﻓﻲ ﺍﻟﺠﻤﻠﺔ، ﻟﻜﻦ ﺗﺨﺘﻠﻒ ﻋﺒﺎﺭﺍﺗﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﺮﻭﻁ
ﻭﺍﻟﺘﻔﺼﻴﻞ
ﻓﻘﺎﻝ ﺍﻟﻤﺎﻟﻜﻴﺔ : ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻨﻘﺾ ﺍﻟﻮﺿﻮﺀ ﻫﻮ ﺍﻟﻠﻤﺲ
ﺑﻌﻀﻮ ﺃﺻﻠﻲ ﺃﻭ ﺯﺍﺋﺪ ﻳﻠﺘﺬ ﺻﺎﺣﺒﻪ ﺑﻪ ﻋﺎﺩﺓ، ﻭﻟﻮ ﻟﻈﻔﺮ
ﺃﻭ ﺷﻌﺮ ﺃﻭ ﺳﻦ، ﻭﻟﻮ ﺑﺤﺎﺋﻞ ﺧﻔﻴﻒ ﻳﺤﺲ ﺍﻟﻼﻣﺲ
ﻓﻮﻗﻪ ﺑﻄﺮﺍﻭﺓ ﺍﻟﺠﺴﺪ، ﺇﻥ ﻗﺼﺪ ﺍﻟﻠﺬﺓ ﺃﻭ ﻭﺟﺪﻫﺎ ﺑﺪﻭﻥ
ﺍﻟﻘﺼﺪ، ﻗﺎﻟﻮﺍ: ﻭﻣﻤﻦ ﻳﻠﺘﺬ ﺑﻪ ﻋﺎﺩﺓ ﺍﻷﻣﺮﺩ ﻭﺍﻟﺬﻱ ﻟﻢ
ﺗﺘﻢ ﻟﺤﻴﺘﻪ، ﻓﻼ ﻧﻘﺾ ﺑﻠﻤﺲ ﺟﺴﺪ ﺃﻭ ﻓﺮﺝ ﺻﻐﻴﺮﺓ ﻻ
ﺗﺸﺘﻬﻰ ﻋﺎﺩﺓ، ﻭﻟﻮ ﻗﺼﺪ . ﺍﻟﻠﺬﺓ ﺃﻭ ﻭﺟﺪﻫﺎ، ﻛﻤﺎ ﻻ
ﺗﻨﻘﺾ ﺑﻠﻤﺲ ﻣﺤﺮﻡ ﺑﻐﻴﺮ ﻟﺬﺓ، ﺃﻣﺎ ﺍﻟﻘﺒﻠﺔ ﺑﻔﻢ ﻓﻨﺎﻗﻀﺔ
ﻭﻻ ﺗﺸﺘﺮﻁ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﻠﺬﺓ ﻭﻻ ﻭﺟﻮﺩﻫﺎ
1. Imam syafe'i menentukan batal menurut surah al-maidah ayat 6
2. Imam hanafi tidak batal
3. Imam malik dan Hambali batal jika dibarengi syahwat,,,
ulam berbeda pndpat dlm memhami atau menafsirkan KATA "AU LAMASTUMUNNISA(Atau kalian menyentuh wanita)
MAZHAB SYAFE'I mntkan mkna tu adlh bertemunya kulit dengan kulit,,seperti beliau uraikan dlm KITAB AL-UMM,,,sedngkan imam malik dan hanbali memaknai dengan bertemunya kulit dengan kulit bila diiringi dengan syahwat,,dan imam abu hanifah memaknai dengan jima' atau bersetubuh,,,
Intinya bersentuhan antar kulit pria dan wanita yg bukan mahrom tanpa penghalang entah lupa atau tidak,dipaksa atau tidak,disertai syahwat ataupun tidak maka keduanya sama2 batal wudlunya, ,kecuali wudlunya mayat,dalam hal ini wudlunya mayat tidak batal
الإقناع للشربيني (1/ 62)
( و )
الرابع من نواقض الوضوء ( لمس الرجل ) ببشرته ( المرأة الأجنبية ) أي بشرتها من غير حائل لقوله تعالى { أو لامستم النساء } أي لمستم كما قرىء به فعطف اللمس على المجيء من الغائط ورتب عليهما الأمر بالتيمم عند فقد الماء فدل على أنه حدث
لا جامعتم لأنه خلاف الظاهر إذ اللمس لا يختص بالجماع قال تعالى { فلمسوه بأيديهم } وقال صلى الله عليه وسلم لعلك لمست ولا فرق في ذلك بين أن يكون بشهوة أو إكراها أو نسيان أو يكون الرجل ممسوحا أو خصيا أو عنينا أو المرأة عجوزا شوهاء أو كافرة بتمجس أو غيره أو حرة أو رقيقة أو أحدهما ميتا لكن لا ينتقض وضوء الميت
para ulama fiqih lintas madzhab memang berbeda pendapat.
Akar perbedaannya ada pada berbedanya ulama dari empat madzhab dalam menarik kesimpulan hukum dari QS. Al-Maidah ayat 6, yang bunyinya:
أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا
“…atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)…”
Secara harfiyah, ayat tersebut menyatakan bahwa menyentuh wanita menyebabkan batalnya wudhu’ sehingga ia diperintahkan mencari air untuk berwudhu’ kembali, dan jika tidak menemukan air maka diperintahkan untuk bertayammum.
Akan tetapi, ayat diatas tidak menjelaskan secara terperinci mengenai:
Wanita manakah yang jika disentuh menjadikan wudhu’ seseorang menjadi batal? Wanita yang menjadi mahramnya atau bukan? Wanita yang sudah baligh ataukah yang belum?Siapakah yang jika menyentuh wanita bisa membatalkan wudhu? Apakah semua gender, ataukah terbatas lelaki saja?Manakah anggota tubuh wanita yang membuat penyentuhnya jadi batal wudhu’nya? Kulitnya saja ataukah gigi dan rambutnya juga?
Hal-hal tersebut membuat para ulama menarik kesimpulan berbeda dari QS. Al-Maidah ayat 6 diatas. Tentu dengan metode istimbath ahkam yang dimiliki oleh masing-masing madzhab. Berikut penjelasannya:
1. Batal Secara Mutlak
Para ulama fiqih dari madzhab Syafi’i memandang bahwa bersentuhan kulit secara langsung antara laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya dapat membatalkan wudhu’ jika sentuhan itu tidak dihalangi oleh apapun seperti kain, kertas, atau lainnya.
Parameter utama dalam madzhab Syafi’i adalah “mujarrad iltiqa’ al-basyaratain”. Artinya, sentuhan kulit secara langsung antara laki-laki dan wanita dapat membatalkan wudhu’ walau tanpa syahwat, sengaja atau tidak sengaja.
Wanita yang menjadikan laki-laki batal wudhu’ saat menyentuhnya adalah ‘musytahah’, yakni wanita yang lazimnya memiliki peluang untuk membuat laki-laki tertarik kepadanya. Ciri-cirinya antara lain : wanita yang sudah baligh dan bukan mahramnya sendiri.
Isteri bukanlah mahram bagi suaminya. Maka dalam madzhab ini sentuhan kulit antara suami-isteri membatalkan wudhu. Sengaja atau tidak sengaja. Dengan atau tanpa syahwat. Menjadi pihak yang menyentuh, ataupun yang disentuh.
Dalam kitab Raudhah at-Thalibin Bab Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu’, Imam Nawawi menjelaskan sebagai berikut:
الناقض الثالث: لمس بشرة امرأة مشتهاة، فإن لمس شعرا، أو سنا، أو ظفرا، أو بشرة صغيرة لم تبلغ حد الشهوة، لم ينتقض وضوءه، على الأصح. وإن لمس محرما بنسب، أو رضاع، أو مصاهرة، لم ينتقض على الأظهر.وإن لمس ميتة، أو عجوزا لا تشتهى، أو عضوا أشل، أو زائدا، أو لمس بغير شهوة، أو عن غير قصد، انتقض على الصحيح في جميع ذلك، وينتقض وضوء الملموس على الأظهر.
Pembatal (wudhu’) yang ketiga adalah menyentuh wanita musytahah. Jika ia menyentuh rambut, gigi, atau kuku wanita, atau menyentuh anak kecil yang tidak mengundang syahwat maka wudhunya tidak batal menurut pendapat yang shahih dalam madzhab ini (Syafi’i). Begitu juga menyentuh mahram, baik mahram karena nasab, sepersusuan atau mushaharah, maka wudhu’nya tidak batal. Adapun jika ia menyentuh wanita yang sudah meninggal atau wanita tua yang sudah tidak mengundang syahwat, atau anggota tubuh wanita yang cacat atau yang organ tambahan, atau ia sentuhan tanpa syahwat dan tidak disengaja maka wudhunya batal menurut pendapat yang shahih dalam madzhab, begitu juga batalnya wudhu orang yang disentuh.
(Wallahua'lam)
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
WAG Santri Indonesia A
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
📬 Pertanyaan
Yg ditanyakan disini adlh bahwa pada saat tidak suci (haid) ituu di haramkan 'berdiam diri di masjid',
Maksud berdiam diri di masjid itu bagaimna? Apa sekedar duduk di masjid, atau bagaimana?
Semisal ada kasus, peringatan mauludan/ isra' mi'raj, dan tempatnya itu di masjid, bkn di luar masjid (masih dlm batas suci) yg menghadiri umum.
Tolong berikan alasan yg logis, n juga kasih referensi, klo ada hadits sertakan juga.
💠 Dalam syarah kitab safinah, dijelaskan, org haid, dilarang melintas(masuk melaui pintu kiri dan keluar melalui pintu kanan, atau yg lain) karena di takutkan darah haid itu jatuh ke masjid atau sebagainya.
Disitu di sebutkan bahwa di haramkn bagi org junub menyentuh mushaf, yg di maksud mushaf itu bagaimana, apps.qur'an di gadget itu termasuk mushaf apa bukan? Hukumnya bagi org yg junub menyentuh / membuka apps tsb?
💠 Kulo keinget perkataan guru Kulo Al habib Soleh bin Ali Al attas bhwa apps alqur'an dihape cuma sebagai sarana jadi In syaa Allah sah sah saja gk pp .. orang yang sedang junub aja tidak dipermasalahkan baca Al Fatihah asalkan diniatkan untuk berdoa .
💠 Aplikasi alquran pada HP Itu tdk dihukumi, mushaf, krn itu bukanlah tulisan. Tetapi hanyalah pancaran sinar, dan tdk menetap, sihingga boleh disentuh dalam keadaan hadats.
Namun menurut satu ulama kontemporer yaitu sayyid Ahmad bin amr asyyathiry itu disamakan mushaf.
وَيُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّهُ لَوْ نَقَشَ الْقُرْآنَ عَلَى خَشَبَةٍ وَخَتَمَ بِهَا الْأَوْرَاقَ بِقَصْدِ الْقِرَاءَةِ وَصَارَ يَقْرَأُ يَحْرُمُ مَسُّهَا ، وَلَيْسَ مِنْ الْكِتَابَةِ مَا يُقَصُّ بِالْمِقَصِّ عَلَى صُورَةِ حُرُوفِ الْقُرْآنِ مِنْ وَرَقٍ أَوْ قُمَاشٍ فَلَا يَحْرُمُ مَسُّهُ ا هـ قَوْلُ الْمَتْنِ
📒 [ Tuhfah Almuhtaaj II/132 ]
Bila wanita yang sedang haid diharamkan membaca al-qur'an, bagaimana jika menambah hafalannya baik dengan cara mendengar murratal maupun melihat secara langsung ayatnya?
💠 Alangkah baiknya jikalau menunggu sampai suci.
💠 Orang yang haid haram membaca Al qur'an itu jikalau disengaja membacanya .. tetapi kalau tidak disengaja sama sekali, maka diniatkan seperti berdzikir, berdo'a, menghafal atau meluruskan bacaan yang salah.
📒 I'anatuh tholibin juz 1 hlm 114
📒 Al bajuri juz 1 hlm 166 & 114
📒 Bughyatul mustarsyidin hlm 26
💠وَتَحْرُمُ قِرَاءَةُ القُرْآنِ عَلَى نَحْوِ جُنُبٍ بِقَصْدِ القِرَاءَةِ وَلَوْ مَعَ غَيْرِهَا لَا مَعَ الِإطْلَاقِ عَلَى الرَّاجِحِ وَلَا بِقَصْدِ غَيْرِ الْقِرَاءَةِ كَرَدِّ غَلَطٍ وَتَعْلِيمٍ وَتَبَرُّكٍ وَدُعَاءٍ -
عبد الرحمن باعلوي، بغية المسترشدين، بيروت-دار الفكر، ص. 52
"Dan haram membaca al-Qur`an bagi semisal orang junub dengan tujuan membacanya walaupun dibarengi dengan tujuan lainnya, dan menurut pendapat yang kuat tidak haram baginya bila memutlakkan tujuannya. Dan juga tidak haram tanpa adanya tujuan membacanya (al-Qur`an) seperti membenarkan bacaan yang keliru, mengajarkannya, mencari keberkahan dan berdoa,”.
📒 (Abdurrahman Ba’alwi, Bughyah al-Mustarsyidin, Bairut-Dar al-Fikr, h. 52)
💠KONDISI YANG MEMBOLEHKAN MEMEGANG DAN MEMBAWA ALQURAN TANPA WUDHU
الشافعية قالوا : يجوز مس المصحف وحمله كلا أو بعضا بشروط : أحدها : أن يحمله حرزا ثانيها : أن يكون مكتوبا على درهم أو جنيه ثالثها : أن يكون بعض القرآن مكتوبا في كتب العلم للاستشهاد به ولا فرق في ذلك بين أن تكون الآيات المكتوبة قليلة : أو كثيرة أما كتب التفسير . فإنه يجوز مسها بغير وضوء بشرط أن يكون التفسير أكثر من القرآن فإن كان القرآن أكثر فإنه لا يحل مسها . رابعها : أن تكون الآيات القرآنية مكتوبة على الثياب كالثياب التي تطرز بها كسوة الكعبة ونحوها خامسها : أن يمسه ليتعلم فيه . فيجوز لوليه أن يمكنه من مسه
وحمله للتعلم . ولو كان حافظا له عن ظهر غيب . فإن تخلف شرط من هذه الشروط فإنه يرحم مس القرآن . ولو آية واحدة
*************************************
Kalangan Syafiiyyah berpendapat bolehnya memegang dan membawa alQuran meski tanpa memakai wudhu bila memenuhi persyaratan berikut ini :
• Membawanya dalam sesuatu yang dapat menjaga Quran (dalam tas, koper dll. dengan ketentuan tidak niat membawa Quran secara langsung
• Tertulis pada mata uang baik Dinar atau dirham
• Tertulis untuk dalil penguat yang terdapat pada kitab-kitab ilmu pengetahuan baik ayat yang tertulis sedikit ataupun banyak.
Sedang mengenai memegang dan membawa Tafsir Quran ditinjau dari banyak dan sedikitnya tafsir Qurannya, bila uraian tafsirnya lebih banyak ketimbang alqurannya boleh dipegang dan dibawa, bila lebih sedikit tidak boleh.
• Tertulis pada pakaian yang disulam seperti pada kelambu ka’bah
-Memegang dan membawanya untuk belajar
Maka diperkenankan bagi seorang wali memberi kesempatan pada anaknya memegang dan membawa alQuran meskipun anaknya sudah menghafalnya.
Bila salah satu ketentuan ini tidak terpenuhi maka tidak diperkenankan memegang dan membawa alQuran tanpa memakai wudhu meskipun hanya satu ayat dan dengan penghalang (tidak memegangnya secara langsung).
📒 alFiqh ‘alaa Madzaahib al-Arba’ah I/48
-------------------
( المالكية قالوا : يشترط لحل مس المصحف أو بعضه بدون وضوء شروط : أحدها : أن يكون مكتوبا بلغة غير عربية أما المكتوب بالعربية فلا يحل مسه على أي حال ولو كان مكتوبا بالكوفي أو المغربي أو نحوهما ثانيها : أن يكون منقوشا على درهم أو دينار أو نحوهما مما يتعامل به الناس دفعا للمشقة والحرج ثالثها : أن يتخذ المصحف كله أو بعضه حرزا فإنه يجوز له أن يحمله بدون وضوء وبعضهم يقول : يجوز له حمل بعضه حرزا أما حمله كله حرزا بدون وضوء فهو ممنوع ويشترط لحمله حرزا شرطان : الأول : أن يكون حامله مسلما الثاني : أن يكون المصحف مستورا بساتر يمنع من وصول الأقذار إليه رابعها : أن يكون حامله معلما أو متعلما
فيجوز لهما مس المصحف بدون وضوء ولا فرق في ذلك بين المكلف وغيره حتى ولو كانت امرأة حائضا وفيما عدا ذلك فإنه لا يجوز حمله
Kalangan Malikiyyah berpendapat bolehnya memegang atau membawa baik secara keseluruhan atau sebagian mushaf alQuran tanpa wudhu bila memenuhi ketentuan :
• Tertulis dengan selain bahasa arab
• Terukir dalam dinar, dirham atau hal-hal yang biasa dipergunakan untuk niaga karena untuk menghindari adanya masyaqqat dan dosa sebab sulitnya menghindarinya
• Tersimpan dalam sesuatu yang terjaga
Sebagian kalangan ini berpendapat “ membawa quran dalam sesuatu yang terjaga bila hanya sebagian quran saja didalamnya namun bila kesemua yang terdapat dalam quran tetap tidak boleh membawanya tanpa wudhu
Dalam bolehnya membawa mushaf alquran dalam sesuatu yang terjaga menurut kalangan Malikiyyah di syaratkan :
=> Pembawanya Muslim
=> Alqurannya tertutup dengan sesuatu yang dapat mencegah dari kotoran.
• Pembawanya pengajar atau pelajar Quran Boleh bagi mereka berdua membawa mushaf alQuran meski tanpa wudhu baik bagi yang sudah mukallaf atau belum bahkan bagi wanita sekalipun.
📒 alFiqh ‘alaa Madzaahib al-Arba’ah I/48
Apakah ada amalan untuk wanita yang sedang haid ?
💠 AMALAN WANITA HAID/MENSTRUASI
Imam Abdurrahman Bin Abdus Salam as-Shafuriy as-Syafii (wafat tahun 894 Hijriyah / 1489 Masehi) rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya Nuzhatul Majalis Wa Muntakhabun Nafais:
Apabila wanita haidh selesai haidhnya, maka hendaknya ia mandi dan mengerjakan shalat dua rakaat.
Setiap rakaatnya membaca Al-Fatihah dan lanjut membaca Qul Huwallahu Ahad (surat al-Ikhlash) 3 kali, maka Allah Taala akan memberikan ampunan bagi dosa-dosa yang ia pernah lakukan baik dosa kecil maupun besar dan Allah Taala perintahkan malaikat untuk tidak mencatat dosa-dosanya sampai haidh yang akan datang, diberikan pahala 60 orang yang syahid, dibangunkan kota di dalam surga, setiap rambut yang ada di kepalanya bercahaya, bila ia meninggal dalam keadaan haidh berikutnya dicatat seperti orang yang mati syahid. Masa-masa haidh yang dialami seorang perempuan menjadi penggugur dosa-dosanya yang lalu.
"Doa saat wanita mengalami haidh:
ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺣﺎﻝ ﻭﺃﺳﺘﻐﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺫﻧﺐ
Alhamdulillahi ala kulli hal, wa astaghfirullaha min kulli dzamb
Artinya:
Segala puji bagi Allah atas segala kondisi dan keadaan, aku mohon ampun kepada Allah dari segala dosa.
Siapa saja dari wanita di hari pertama mengalami haidh ia membaca dzikir tersebut, maka Allah Taala memberikan pembebasan dari api neraka dan kemudahan untuk melewati Shirat (titian hari kiamat) serta aman dari azab neraka.
Saat wanita haidh diharamkan melakukan shalat tetapi masih ada amalan berfadhilah besar yang ia dapatkan dengan membaca istighfar 70 kali di setiap datang waktu shalat. Siapa saja wanita yang sedang haidh membaca istighfar 70 kali pada setiap datang waktu shalat fardhu, maka Allah Taala akan memberikan kepadanya pahala orang yang melakukan shalat sunnah 1000 rakaat, mendapat ampunan 70 macam dosa dan Allah bangunkan kota megah di surga sebanyak jumlah bulu dan rambut yang ada pada jasadnya.
Adapun sanad muttashil kepada Imam Abdurrahman Bin Abdus Salam as-Shafuriy as-Syafii (wafat tahun 894 Hijriyah / 1489 Masehi) rahimahullah pengarang kitab Nuzhatul Majalis Wa Muntakhabun Nafais, sebagai berikut:
ﺍﻟفقير ابومحمد السيانى ﻋﻦ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﻜﺘﺎﻧﻲ ﻋﻦ ﻭﺍﻟﺪﻩ ﺍﻟﺤﺎﻓﻆ ﺍﻟﺴﻴﺪ ﻣﺤﻤﺪ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺤﻲ ﺍﻟﻜﺘﺎﻧﻲ ﻋﻦ ﺷﻴﺨﻪ ﺍﻟﺴﻜﺮﻱ ﻋﻦ ﺍﻟﻜﺰﺑﺮﻱ ﻋﻦ ﺍﻟﺮﺣﻤﺘﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺎﺑﻠﺴﻲ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺠﻢ ﻣﺤﻤﺪ ﺍﻟﻐﺰﻱ ﻋﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺼﻔﻮﺭﻱ ﻋﻦ ﻭﺍﻟﺪﻩ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﺍﻟﺼﻔﻮﺭﻱ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ
Bagaimana dengan ayat لا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ yang artinya dilarang memegang Al Quran kecuali orang-orang yang suci . Tetapi sekelompok orang beranggapan bahwa kata suci tersebut mengarah pada nonmuslim bukan orang yang dalam keadaan hadats```
💠 Kita pahami dlu secara harfiyah
Yg pertama ada huruf laa(لا) Dan disitu kedudukannya sebagai laa nahiyah(larangan )
Kedua, kalimat muthoharun d stu, mencakup arti yang banyak, artiny keadaan bersuci.
Dlm tafsir di jelaskan bhwa rasulullah mengatakan suci disini, mencakup keseluruhan, baik hadas kecil maupun hadas besar.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Hakim ibnu Jubair, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. (Al-Waqi'ah:79) Yakni Kitab yang ada di langit.
Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. (Al-Waqi'ah: 79) Yaitu para malaikat.
Hal yang sama telah dikatakan oleh Anas, Mujahid. Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Ad-Dahhak, Abusy Sya'sa, Jabir ibnu Zaid. Abu Nuhaik, As-Saddi, Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dan lain-lainnya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abdul Ala, telah menceritakan kepada kami IbnuSaur, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. (Al-Waqi'ah: 79) Yakni tidak ada yang menyentuhnya di sisi Allah kecuali hamba-hamba yang disucikan. Adapun di dunia, maka sesungguhnya Al-Qur'an itu dapat dipegang oleh orang Majusi yang najis dan orang munafik yang kotor.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ayat ini menurut qiraat Ibnu Mas'ud disebutkan mayamassuhii illal mutahharun, memakai ma.
Abul Aliyah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. (Al-Waqi'ah: 79) Bukan kamu orang-orang yang berdosa.
Ibnu Zaid mengatakan bahwa orang-orang Quraisy mempunyai dugaan bahwa Al-Qur'an ini diturunkan oleh setan. Maka Allah menerangkan bahwa Al-Qur'an ini tidak dapat disentuh kecuali oleh hamba-hamba yang disucikan, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{وَمَا تَنزلَتْ بِهِ الشَّيَاطِينُ. وَمَا يَنْبَغِي لَهُمْ وَمَا يَسْتَطِيعُونَ. إِنَّهُمْ عَنِ السَّمْعِ لَمَعْزُولُونَ}
Dan Al-Qur’an itu bukanlah dibawa turun oleh setan-setan. Dan tidaklah patut mereka membawa turun Al-Qur’an itu, dan mereka pun tidak akan kuasa. Sesungguhnya mereka benar-benar dijauhkan dari mendengar Al-Qur’an itu. (Asy-Syu'ara: 210-212)
Pendapat ini cukup baik dan tidak menyimpang dari pendapat-pendapat yang sebelumnya.
Al-Farra mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah tidak dapat merasakan makna dan manfaat Al-Qur'an kecuali orang-orang yang beriman kepadanya.
Ulama lainnya mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. (Al-Waqi'ah: 79) Yakni yang suci dari jinabah dan hadas.
Mereka mengatakan bahwa lafaz ayat merupakan kalimat berita, tetapi makna yang dimaksud ialah perintah. Dan mereka mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al-Qur'an adalah mushaf, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. telah melarang bepergian membawa Al-Qur'an ke negeri musuh karena dikhawatirkan Al-Qur'an itu dirampas oleh musuh. Dan mereka menguatkan pendapatnya dengan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik di dalam kitab Muwatta'-nya dari Abdullah ibnu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm sehubungan dengan surat yang dikirim oleh Rasulullah Saw. ditujukan kepada Amr ibnu Hazm, bahwa tidak boleh menyentuh Al-Qur'an kecuali orang yang suci.
Abu Daud telah meriwayatkan di dalam himpunan hadis-hadis mursal-nya melalui Az-Zuhri yang mengatakan bahwa aku telah membaca lembaran yang ada pada Abdu Abu Bakar ibnu Muhammad ibnu Amr ibnu Hazm, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"وَلَا يَمَسُّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ"
Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci.
Ini merupakan alasan yang baik, telah dibaca oleh Az-Zuhri dan lain-lainnya, dan hal yang semisal dengan pendapat ini dianjurkan untuk dipakai.
Ad-Daruqutni telah mengisnadkannya dari Amr ibnu Hazm dan Abdullah ibnu Amr serta Usman ibnu Abul Asim, tetapi dalam sanad masing-masing dari keduanya perlu diteliti kembali; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
📒 Tafsir Ibn Katsir QS.Al-Waqi'ah : 79
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
( WAG Santri Indonesia )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar