Minggu, 06 Desember 2020

APAKAH SELALU BERMUARA PADA PERNIKAHAN

APAKAH SELALU BERMUARA PADA PERNIKAHAN
Edisi Malam Minggu, 05 Desember 2020

"Sesungguhnya, berpura-pura tegar itu menyakitkan"

Saat menjalani sebuah hubungan, tentu kita ingin sekali hubungan kita berakhir pada pernikahan. Kita akan menikah dengan orang yang kita cintai, bahagia bersama hingga akhir nanti. Kadang, saat masih taaruf, bersama pasangan kita, kita sama-sama membayangkan bagaimana kehidupan kita kelak. Kadang kita juga mempraktikkan apa yang Kita bayangkan, entah melalui chatting atau adegan sungguhan. Sayangnya, tidak semua hubungan bisa kita perjuangkan sampai pada pernikahan.

Akan ada sebab-sebab yang menghalanginya untuk sampai pada sahnya pelaminan, entah pengkhianatan, kecelakaan yang menyebabkan salah satu di antara kita meninggal, terhalangnya restu orangtua, atau sebab salah satu di antara kita memang sudah tidak cinta. 

Tentu itu membuat kita jadi merana, merasa perjuangan kita selama ini sia-sia. Pengkhianatan menjadi penyebab paling menyakitkan. Setelah kita susah payah memperjuangkan untuk sampai ke pelaminan, dia malah dengan entengnya mematahkan perjuangan kita tanpa basa-basi permisi. Atau merasa Tuhan tidak adil, memisahkan kita dari orang yang kita cintai sebelum sama-sama bahagia setelah adanya pernikahan yang terjadi. Saat salah satu di antara kita harus mundur karena sudah cinta, kita merasa bahwa hidup sudah tidak ada lagi gunanya. Bagaimana mungkin, pasangan yang selama ini ada bersama kita, yang selama ini kita cintai, kini tidak lagi mencintai kita.

Pengkhianatan Damar (dalam sebuah kisah) juga menjadi salah satu contoh sebab tidak bermuaranya hubungan pada pernikahan. Mereka berpacaran sejak SMA, tentu banyak masalah dan cobaan yang menimpa hubungan, entah bosan lalu selingkuh, atau tidak sesuai ekspektasi kemudian selingkuh juga. 

Sayangnya meski sudah begitu, hubungan itu masih mereka pertahankan. Sampai akhirnya mereka sama-sama memutuskan untuk melangsungkan pernikahan. Tak disangka, setelah proses lamaran, Mawar justru gusar. Dia merasa tidak nyaman dan terbayang-bayang akan perselingkuhan yang pernah Damar lakukan. 

Berkali-kali Damar menenangkan dan meyakinkan kembali, namun tak itu tak berhasil. Sampai akhirnya, Mawar benar-benar memergoki Damar tengah berduaan bersama cewek lain, dan cewek itu ternyata temannya sendiri, teman mereka berdua. 

Seketika itu juga akhirnya Mawar benar-benar memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Damar dan membatalkan pernikahan mereka. Tak peduli betapa dia atau Damar masih menyimpan cinta, tak peduli apa tanggapan keluarga. Bagi Mawar, jika memang cinta, seharusnya Damar tidak melakukan hal itu. Apalagi menjelang hari pernikahan mereka.

Setelah gagal menikah dengan Damar, Mawar harus diopname karena penyakit tifus yang dideritanya. Dia teramat stres dan terpukul, tidak menyangka bahkan menjelang pernikahannya Damar masih belum mengubah kebiasaan. 

Mawar juga menutup diri sampai tiga tahun lamanya. Hubungannya dengan Damar membuatnya merasa sangat kelelahan, sekaligus takut. Dia juga sulit menerima laki-laki lain meskipun hampir ada satu orang yang mendekati setiap bulannya. Bukan karena masih cinta, tapi untuk memulai hubungan baru dia harus menyiapkan segala sesuatu dari awal lagi. Dia harus memperbaiki bagaimana caranya mempercayai orang dengan benar, bagaimana mencintai dengan benar, bagaimana berharap dengan benar, dan bagaimana agar dia tegas dan tidak mudah disakiti. 

Sebenarnya selama tiga tahun itu, Mawar ingin sekali memulai hubungan baru dan menanggapi beberapa laki-laki yang mendekatinya, namun saat hendak melangkah ke hubungan yang lebih serius, Mawar mendadak ragu. Dia merasa terlalu terburu-buru. Dia masih belum siap untuk kembali terikat. Dan dia juga sedang berusaha bagaimana mengobati kesepian dan luka batin akibat ditinggal ayahnya. Dia bercerita jika dia juga mengunjungi beberapa psikolog untuk menenangkan diri. Keputusannya itu dia ambil setelah orang-orang di sekitarnya tidak mampu membantunya untuk kembali bangkit.

Cinta adalah inti dari aku atas kamu, dan hubungan adalah tali yang berhasil mengikat aku dengan kamu.. Kata Mbah Sudjiwo Tejo,

"Menikah adalah Nasib, Mencintai adalah Takdir."

Jika kamu belum menikah, jangan terlalu mencintai orang yang belum menjadi suami atau istrimu. Tapi, siapapun orang yang kamu nikahi atau menikah denganmu nanti, wajib kamu cintai.

"MENIKAH DENGAN ORANG YANG KITA CINTAI ADALAH KEBAHAGIAAN, NAMUN MENCINTAI ORANG YANG KITA NIKAHI ATAU MENIKAH DENGAN KITA ADALAH SEBUAH KEHARUSAN."

Jangan sampai kita masih mencintai orang lain selain suami atau istri kita, hal itu yang dapat merusak makna pernikahan dan menghancurkannya secara perlahan.

Kata Mbah Sudjiwo Tejo lagi,

"KITA BISA BERENCANA MENIKAHI SIAPA, TAPI KITA TIDAK BISA BERENCANA CINTA KITA UNTUK SIAPA,"

Memang, cinta itu ajaib. Kita bisa berencana menikah dengan orang seperti apa, berekspektasi jika pasangan kita kelak akan seperti ini, punya ini-itu, tapi suatu saat bisa saja tanpa sebab, tanpa kita tau kenapa, kita justru jatuh cinta pada seseorang yang jauh dari ekspektasi kita sebelumnya. 

Karena cinta dan menikah adalah dua hal yang berbeda, maka bukan sesuatu yang mengherankan bila cinta tidak bermuara pada pernikahan. Sayang, bukan? Tidak apa-apa. Setiap orang yang hadir dalam hidup kita membawa tugas masing-masing, sebagian mengisi, menetap, dan ada juga yang ditugaskan untuk menyakiti lalu pergi.

Gagal menikah dengan orang yang selama ini kita cintai memang berat dan menyisakan kekecewaan yang mendalam. Namun, akan lebih menjadi sebuah kegagalan lagi jika kita lantas tidak mampu melanjutkan hidup dan malah menyumpahi keadaan. Orang yang sudah mampu memikirkan pernikahan, seharusnya juga lebih mampu menerima perpisahan. 

Semua orang tentu mengharapkan pernikahan yang terjadi sekali seumur hidup. Berpisah sebelum menikah lebih baik daripada harus berpisah setelah terjadi pernikahan. Pun tentu tidak ada satu pun orang yang menginginkan dirinya berpisah dengan orang yang dia cintai, namun sekali lagi menikah adalah nasib, dan cinta adalah takdir.

"Tugas kita bebagai makhluk Sang Pemberi Takdir hanya berusaha dan menjalani takdir dengan sebaik-baiknya."

Tertundanya sebuah pernikahan juga bukan sesuatu yang sepenuhnya meyedihkan. 

"Kalau aku jadi menikah dengannya dulu, mungkin sekarang aku sudah punya anak-anak yang lucu dan menggemaskan seperti teman-temanku." Atau "Kalau aku jadi menikah dengannya dulu, tentu aku tidak jomblo seperti sekarang, disaat yang lain sudah menghabiskan waktu dan pergi kemana-mana bersama pasangan."

Dan ungkapan-ungkapan kekecewaan lain yang tanpa sadar justru semakin menjauhkan kita dari kebahagiaan. Setiap orang mempunyai jatah waktu sendiri-sendiri untuk setiap kejadian dalam hidupnya. Hidup bukan sebuah perlombaan yang siapa menikah duluan, dia yang menang. Siapa yang sukses duluan, dia yang menjadi juara. Kalau hal itu benar terjadi, orang yang lahir lebih dulu, nenek moyang kita tentu sudah menjadi pemenangnya. 

Lantas, untuk apalagi kita hidup? "Boleh jadi keterlambatanmu dari suatu perjalanan adalah keselamatanmu. Boleh jadi tertundanya pemikahanmu adalah suatu keberkahan." kata KH. M. Quraish Shihab.

Pastikan kita selalu mendapatkan manfaat dari setiap lara dan kejadian-kejadian yang tidak kita inginkan. Jodoh sudah diatur oleh Tuhan, seharusnya kita tidak risau lagi atas apa yang sudah Tuhan tentukan. Meski cinta kita tidak bermuara pada pernikahan, setidaknya cinta itu telah mengajarkan kita banyak hal. Bagaimana kita telah dididik menjadi manusia yang lebih baik berkat pasangan, diperkuat dengan kesedihan yang dia berikan, diuji dengan kebahagiaan, dilatih sabar akan kerinduan, dan hal-hal yang akan terus kita pelajari sampai kita mati. Meski tidak berakhir di pelaminan, namun cinta ada bukan untuk ditangisi dan disesalkan. Dia penuh penghidupan, dia penuh pembelajaran. Kita tidak akan pernah menjadi kita yang sekarang tanpa menjadi kita yang dulu, yang mencintai dan menjaga orang yang kini menikah dengan orang lain, yang disakiti maupun menyakiti, yang susah melupakan atau mudah dilupakan. Satu hal pasti berlaku adalah, kita jahat di cerita orang lain. Tapi, bukan salah cintanya, itu sepenuhnya salah kita. Dan sebenarnya itu tidak salah, kita saja yang malas berpikir dan bersyukur.

"Ketika kita memutuskan untuk menikah dengan pasangan, pastikan kalau apa yang kita jalani selama ini tidak berpura-pura dan dijalani karena terpaksa. kita memang menjalaninya karena sama-sama ingin, bahagia apa pun yang kita lakukan memang kita tujukan untuk membuat pasangan bahagia tanpa perlu diminta."

"CINTA ITU TIDAK MENGENAL PENGORBANAN. SAAT KITA MULAI MERASA BERKORBAN UNTUK PASANGAN, MAKA BARANGKALI ITU BUKAN CINTA."

Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar