MATERI
Rabi’ah dilahirkan dengan nama Rabi’ah binti Ismail bin Hasan bin Zaid bin Ali bin Abi Thalib di Basrah. Beberapa riwayat juga menyebutkan nama lengkapnya sebagai Ummi al-Khair binti Ismail al-Adawiyah. Namun, tidak terdapat bukti autentik mengenai tahun kelahirannya secara pasti. Sejarah mencatat berbagai kejanggalan tentang tahun kelahirannya, yang diperkirakan berada di antara tahun 95 dan 99 H (713 atau 717 M).
Sejak kecil, Rabi’ah sudah dikenal sebagai anak yang salihah dan hafal Al-Quran. Di usia 10 tahun, ia mulai bekerja keras mencari nafkah demi bertahan hidup. Dalam buku Rabi’ah al-Adawiyah: Perjalanan dan Cinta Wanita Sufi (2019) yang ditulis oleh Azeez Naviel Malakian, keluarganya digambarkan sebagai keluarga yang sangat miskin. Bahkan, ketika ia lahir, orang tuanya tidak mampu menyediakan minyak untuk lampu sehingga rumah mereka gelap gulita.
Rabi’ah menjadi yatim piatu tanpa meninggalkan warisan apa pun dari kedua orang tuanya. Masa remajanya ia habiskan sebagai pelayan di keluarga kaum Mawali al-Atik dari suku Qais. Meskipun demikian, hidupnya ia jalani dengan penuh keteguhan dan cinta hingga akhirnya berhasil meraih kebebasannya.
Dalam buku terjemahan Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah al-Adawiyah (1999) karya Widad el-Sakkaini, diceritakan suatu malam tuannya terbangun karena mendengar suara rintihan dan doa-doa Rabi’ah. Saat mengintip melalui celah kamar, ia melihat cahaya menyinari seluruh ruangan tempat Rabi’ah berada. Peristiwa itu membuat sang tuan merasa malu, sehingga esoknya ia memutuskan untuk membebaskan Rabi’ah dari status pelayanannya.
Setelah mendapatkan kebebasan, perjalanan sufistik Rabi’ah al-Adawiyah berawal dengan ekspresi artistik—bernyanyi, bermain seruling, dan menyampaikan kecintaannya pada Tuhan melalui syair-syair cinta yang mendalam.
Rabi’ah sendiri tidak menyusun teori cinta secara formal seperti yang dikenal saat ini. Namun, para ulama dan sufi sering mengutip syair-syair serta ungkapan-ungkapannya, yang kemudian menjadi dasar lahirnya berbagai teori dan konsep cinta, sering kali dikaitkan dengan istilah mahabbah Rabi’ah.
Lewat syair-syairnya, dapat kita pahami bahwa konsep cinta menurut Rabi’ah terbagi dalam dua terminologi utama: cinta sejati (al-Hubb al-Haqiqi) dan cinta duniawi (al-Hubb al-Danasi). Cinta sejati diarahkan sepenuhnya kepada Tuhan sebagai ekspresi spiritual paling murni. Sedangkan cinta duniawi lebih ditujukan kepada hal-hal selain Tuhan, mencerminkan hubungan dengan dunia material.
Pemahaman Rabi’ah tentang cinta dapat dianggap sangat ekstrem atau bahkan radikal jika dilihat dari perspektif masyarakat saat ini. Meski demikian, ada pelajaran yang sangat berharga dari ajaran cintanya. Pertama, cinta sejati menuntut fokus yang totalitas hanya kepada Yang Dicintai—dalam hal ini Tuhan—sambil menutup diri dari segala aspek duniawi serta daya tariknya. Seorang sufi harus mengalihkan pandangannya dari kesenangan duniawi demi mencapai hubungan yang indah dan murni dengan Sang Kekasih.
Kedua, Rabi’ah mengajarkan bahwa cinta haruslah langsung tertuju kepada Tuhan tanpa kompromi pada hal-hal lain. Keputusan untuk tidak menikah menjadi simbol komitmen cintanya yang utuh kepada Tuhan. Ia dengan tegas menolak lamaran Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang pejabat Abbasiyah di Basrah, serta Hasan al-Basri, seorang sufi terkemuka.
Pada akhirnya, apa yang membedakan pengertian cinta antara seorang sufi seperti Rabi’ah dan orang biasa terletak pada pengalaman spiritual masing-masing individu saat menjalani perjalanan mendekat kepada Sang Khalik. Konsep cintanya adalah cinta spiritual yang mendalam, jauh dari cinta duniawi atau cinta yang digerakkan oleh nafsu seperti dalam kehidupan sehari-hari. Pesan yang ditinggalkan begitu kaya dan menggugah pemaknaan kita akan kasih yang sejati.
DISKUSI
Pertanyaan:
1. Mohon maaf sebelumnya, saya masih awam. Apa sebenarnya arti dari kata sufi?
Jawaban:
Sufi adalah seseorang yang ahli dalam ilmu tasawuf atau sufisme. Tasawuf, yang juga dikenal dengan sebutan sufisme, merupakan salah satu cabang ilmu penting dalam Islam, selain ilmu tauhid dan ilmu fiqih. Ilmu tasawuf berfokus pada pengembangan diri untuk melepaskan keterikatan terhadap hal-hal duniawi.
Kata sufi diyakini berasal dari istilah suf, yang berarti kain wol. Hal ini merujuk pada jubah atau khirqah yang sering dikenakan oleh para sufi pada masa awal perkembangan sufisme.
---
Pertanyaan:
2. Assalamualaikum, izin bertanya. Siapa guru ruhani beliau? Apakah kezuhudan yang membuat beliau tidak menikah sepanjang hidupnya? Terima kasih.
Jawaban:
Rabiah Al-Adawiyah berguru kepada ulama dan cendekiawan besar Hasan Al-Basri, yang merupakan seorang tabi’in (generasi setelah para sahabat Rasulullah). Disebutkan juga bahwa beliau memiliki beberapa guru lainnya selain Hasan Al-Basri.
Dalam kitab Al-Bayan wa Al-Tabyin, terdapat kisah tentang Rabiah yang pertama kali didokumentasikan oleh Al-Jahizh, seorang tokoh asal Basrah. Ada kemungkinan bahwa Al-Jahizh pernah bertemu langsung dengan Rabiah Al-Adawiyah.
Rabiah mengajarkan bahwa cinta sejati harus sepenuhnya ditujukan kepada Allah, dengan mengesampingkan segala hal lainnya. Cinta mendalam inilah yang kemudian membuatnya memilih untuk tidak menikah, bahkan menolak lamaran Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi.
Tanda-tanda cinta ilahiah menurut Rabiah:
1. Rasa bahagia ketika ingin bertemu dengan Sang Kekasih (Allah), hingga tabir (kasyf) terbuka.
2. Mendahulukan apa yang dicintai Allah daripada apa yang dicintai dirinya sendiri.
3. Selalu mengingat-Nya dan memperbanyak dzikir kepada Allah.
4. Menyendiri untuk beribadah hanya kepada Allah, bermunajat kepada-Nya, dan membaca firman-Nya dalam Al-Qur'an.
5. Tidak menyesali apa yang hilang darinya selain Allah.
---
Pertanyaan:
3. Apa hakikat cinta?
Jawaban:
Kita dapat mengambil pelajaran dari pemikiran Rabi’ah al-Adawiyah tentang cinta, yaitu cinta yang bersifat spiritual atau mahabbah. Cinta ini bukanlah nafsu atau cinta seperti pada umumnya, melainkan cinta murni kepada Allah.
Menurut Rabi’ah, jalan menuju cinta ilahi dimulai dengan taubat, diikuti oleh ridha kepada Allah. Dalam surat Al-Bayyinah ayat 8, disebutkan bahwa "Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya." Oleh karena itu, kita harus terlebih dahulu ridha atas apa yang Allah berikan, bukan menunggu ridha Allah kepada kita lebih dahulu.
Hakikat cinta sejati digambarkan sebagai keadaan tanpa jarak antara yang mencintai dan yang dicintai. Cinta adalah ekspresi rindu dan luapan perasaan yang tidak dapat sepenuhnya diungkapkan dengan kata-kata. Ia adalah pengalaman spiritual yang mendalam dan transformasional. Dalam cinta ini, seseorang kehilangan ego dan larut dalam kedekatan dengan Allah, hingga segala aspek kehidupan diarahkan untuk menyaksikan dan merasakan kehadiran-Nya. Cinta sejati melibatkan kebesaran, keinginan yang tak tersampaikan, hati yang penuh kerinduan, serta ketundukan total. Meskipun terasa berat, cinta semacam ini membawa keindahan yang abadi.
---
Pertanyaan:
4. Apakah diperbolehkan bagi seseorang di zaman modern untuk mengikuti jalan Rabi’ah al-Adawiyah secara utuh? Bagaimana cara agar kita memiliki rasa cinta yang kuat kepada Allah dan memperdalam kehidupan sufistik?
Jawaban:
Seseorang tentu dapat belajar dan mengaplikasikan nilai-nilai dari jalan spiritual Rabi’ah al-Adawiyah asalkan tetap relevan dengan keadaan di masa kini dan tidak melanggar syariat.
Untuk membangun rasa cinta kepada Allah dan meningkatkan kesufian, diperlukan langkah-langkah berikut:
1. Taubat – Bertaubat secara tulus kepada Allah atas segala kekhilafan, menjadikan diri lebih bersih dari dosa-dosa yang menghalangi hubungan dengan-Nya.
2. Membersihkan hati (shofwah) – Proses ini melibatkan penghilangan sifat-sifat buruk seperti iri hati, kesombongan, dan dengki, kemudian menggantinya dengan sifat-sifat baik seperti kasih sayang, ikhlas, dan rendah hati.
3. Wilayah (kewalian) – Mendekatkan diri secara konsisten kepada Allah melalui ibadah, zikir, doa, dan amal kebaikan hingga mencapai tingkat kedekatan spiritual yang mendalam.
4. Fana’ – Melepaskan ego dan keterikatan dengan duniawi agar hati sepenuhnya fokus kepada Allah. Ini adalah puncak dari perjalanan spiritual di mana seseorang merasa dirinya lenyap dalam kehadiran-Nya.
Proses ini memerlukan komitmen yang besar dan keikhlasan, serta selalu berusaha menjaga hubungan dengan Allah melalui niat yang murni dan perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari.
---
Pertanyaan:
5. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Izin bertanya, Gus.
Tentang pemahaman syair "Ilahi anta maqsudi waridhoka matlubi, atini mahabbataka wama'rifataka" bagaimana maknanya?
Jawaban:
Secara keseluruhan, syair ini merupakan doa yang penuh makna, memohon kepada Allah agar diberikan cinta-Nya, keridhaan-Nya, serta pengetahuan tentang diri-Nya. Doa ini mencerminkan kepasrahan dan kesadaran seorang hamba akan kebesaran Allah, sekaligus menunjukkan kerinduan untuk senantiasa dekat kepada-Nya.
Kalimat *Ilahi anta maqsudi waridhoka matlubi, atini mahabbataka wama'rifataka* sering kali diwiridkan dalam amalan tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah sebagai bentuk dzikir mendalam. Doa ini dapat dipahami sebagai berikut:
**Ilahi anta maqsudi**
"Ya Allah, Engkaulah tujuanku." Ini menyiratkan bahwa tujuan utama hidup seorang mukmin adalah mengarahkan segalanya untuk mencari dan mendekatkan diri kepada Allah.
**Waridhoka matlubi**
"Ridha-Mu yang kuinginkan." Menegaskan bahwa tujuan tertinggi seorang manusia adalah meraih keridhaan Allah di atas segalanya, menjadikannya pusat segala usaha dan pengorbanan hidup.
**Atini mahabbataka**
"Berikanlah aku cinta-Mu." Sebuah permohonan yang tulus agar mendapat anugerah cinta dari Allah, yang menjadi sumber kebahagiaan, kekuatan, dan motivasi dalam menjalani ibadah.
**Wama'rifataka**
"Dan pengetahuan tentang diri-Mu." Mengungkapkan harapan untuk diberi pengenalan dan pemahaman mendalam tentang Allah. Mengenal Allah merupakan hal yang sangat ditekankan dalam Islam sebagai landasan iman sejati.
Memahami dan menghayati doa ini dapat menjadi obat hati bagi siapa saja yang ingin merasakan cinta ilahi secara mendalam.
---
Pertanyaan:
6. Bagaimana cara bertaubat yang benar sesuai dengan Al-Qur'an, khususnya taubatan nasuha? Apakah hanya cukup dengan penyesalan saja, atau ada syarat-syarat yang harus dipenuhi?
Jawaban:
Taubat yang benar dikenal sebagai taubatan nasuha, yaitu pertobatan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, tulus, dan sepenuhnya ikhlas kepada Allah. Berikut beberapa syarat taubat yang perlu dipahami:
- Menyesali dosa yang telah dilakukan: Penyesalan adalah langkah awal untuk menyadari kesalahan.
- Berhenti dari dosa: Taubat harus segera diikuti dengan meninggalkan perbuatan dosa secara total, tanpa berkompromi.
- Berjanji untuk tidak mengulanginya lagi: Tekad kuat untuk tidak kembali melakukan dosa tersebut menjadi kunci taubatan nasuha.
- Mengembalikan hak orang lain (jika berkaitan dengan manusia): Jika dosa menyangkut hak orang lain (seperti mencuri atau menyakiti), maka hak tersebut harus dikembalikan atau diselesaikan terlebih dahulu.
Apabila dosa tersebut dilakukan kembali setelah taubat, maka taubat sebelumnya belum termasuk taubatan nasuha, melainkan hanya sebatas "taubat kapok lombok" karena tidak didasari niat yang kuat. Maka, pertobatan sejati diperlukan kejujuran terhadap diri sendiri dan rasa takut kepada Allah.
---
Tanda-tanda cinta ilahiah
1. Rasa rindu yang mendalam untuk bertemu dengan Allah hingga terungkap rahasia-Nya (kasyf).
2. Mengutamakan apa pun yang dicintai oleh Allah lebih dari apa yang disenangi dirinya sendiri.
3. Senantiasa mengingat Allah dan memperbanyak zikir.
4. Berupaya mendekatkan diri kepada Allah melalui khalwat, munajat, dan membaca Al-Qur'an.
5. Tidak menyesali kehilangan apa pun di dunia kecuali kedekatan dengan Allah.
6. Merasakan kenikmatan dalam beribadah dan tidak menganggapnya beban.
7. Bersikap lembut serta penuh kasih sayang terhadap semua makhluk-Nya.
8. Memiliki perpaduan antara rasa takut dan harapan saat mencintai Allah.
9. Menyembunyikan cintanya kepada Allah sebagai bentuk pemuliaan atas kasih tersebut.
10. Senantiasa merasa rida kepada ketentuan dan keputusan Allah sebagai manifestasi cinta sejati.