Sabtu, 02 Juni 2018

Syaikh Nawawi al-Bantani Dan Generasi Muda Saat Ini

Syaikh Nawawi al-Bantani Dan Generasi Muda Saat Ini
Oleh : Fathoni Anwar  ( Sanindo Yogyakarta )

I. ABSTRAK

ARrtikel ini bertujuan untuk: 1) Menjelaskan secara singkat profil Syekh Nawawi al-Bantani; 2) Menjelaskan kondisi generasi muda di era global; 3) Menjelaskan relevansi pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani dalam membentuk karakter keindonesiaan di generasi muda. Metode yang digunakan dalam kepenulisan artikel adalah metode penulisan sejarah dengan menggunakan sumber-sumber primer yaitu kitab yang ditulis Syekh Nawawi al-Bantani, serta sumber-sumber pendukung lain yang relevan dengan tema tersebut. Hasil kesimpulan dari artikel ini adalah: 1) Syekh Nawawi al-Bantani merupakan ulama besar asal Indonesia. Ia merupakan ulama yang memiliki banyak murid di Mekkah serta telah menulis lebih dari seratus kitab yang berpengaruh; 2) Globalisasi memberikan dampak positif serta negatif terhadap generasi muda, namun dampak negatif lebih dominan terutama ditandai dengan krisis moral di generasi muda; 3) Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Qomi’u al-Tughyan ala Mandzumati al-Ima menjelaskan tentang pentingnya menjaga kedaulatan tanah air dan agama, serta anjuran untuk menghindari hal-hal yang tidak memiliki manfaa. Hal tersebut memiliki relevansi bagi kondisi generasi muda saat ini sebagai penyaring untuk menghindari dampak buruk globalisasi. Kata kunci: Syaikh Nawawi al-Bantani, globalisasi, generasi muda

II. PENDAHULUAN

Indonesia sebagai negara yang mempunyai penduduk muslim terbanyak didunia tidak lepas dari peran ulama-ulama terdahulu. Diantara ulama-ulama tersohor itu, ada sosok yang dapat dijadikan teladan, yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani. Ia adalah ulama yang tidak hanya dikenal di Indonesia saja, namun juga di kawasan Timur Tengah terutama di Mekkah, dan sekaligus pernah menjadi Imam Masjidil Haram disana. Syaikh Nawawi lahir di Desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten pada tahun 1230 H / 1813 M dengan nama asli Abu Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi dengan ayah kandungnya bernama ‘Umar bin ‘Arabi dan ibu kandungnya bernama Zubaedah. Beliau adalah seorang ulama yang bertaraf Internasional dan Intelektual. Beliau juga menulis berbagai kitab-kitab yang meliputi bidang fiqih, tauhid, tasawuf, dan hadis. Jumlah kitab yang beliau karang mencapai 115 kitab, diantaranya; Sullam al-Munajah (syarah safinah al-shalah), Nashaih al-‘Ibad (syarah al-Manbahatu ‘ala al-Isti’dad li yaum al-Mi’ad), Kasyf al-Maruthiyyah (syarah Matan al-Jurumiyyah), Madarij al-Shu’ud (starah Maulid al-Barjanji, Fath al-Majid (syarah al-Durr al-Farid), Kasyifah al-Saja (syarah Safinah al-Naja), Tanqih al-Qaul al-Hatsits (syarah Lubab al-Hadits), Tafsir al-Munir, ‘Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain, dan masih banyak lagi. Syaikh Nawawi wafat di Mekah pada tanggal 25 Syawal 1314 H / 1897 M. Guru-guru beliau, antara lain; Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Yusuf Sumbulaweni, Syaikh Abdul Hamid Daghestani, Syaikh Sayyid Ahmad Nahrawi, Syaikh Ahmad Dimyati, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Khatib Hambali, Syaikh Junaid Al-Betawi, dan Syaikh Muhammad Khatib.   Secara lengkap, sebagaimana ditulis oleh Rafiuddin Ramli, urutan silsilah Syaikh Nawawi dari garis ayah adalah sebagai berikut: Syaikh Nawawi bin Kiai Umar bin Kiai ‘Arabi bin Kiai Ali bin Ki Jamad bin Ki Janta bin Ki Masbuqil bin Ki Masqun bin Ki Maswi bin Ki Tajul Asry (Pangeran Suryararas) bin Maulana Hasanuddin bin Maulana Syarif Hidayatullah bin Raja Amatuddin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain bin Imam Sayyid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah Adzmah Khan bin Amir Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali Qasim bin Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad Muhajir Ilallahi bin Imam Isa an-Naqib bin Imam Muhammad Naqib bin Sayyidina Husain bin Sayyidatuna Fatimah az-Zahra binti Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam. Syaikh Nawawi juga mendapatkan darah biru dari sang ibu. Jika diruntut keatas, silsilahnya akan sampai kepada para bangsawan Kasultanan Banten dan Sunan Gunung Jati (Nur Rokhim, 2015:88). Syekh Nawawi al-Bantani merupakan tokoh yang memiliki gagasan besar. Pemikirannya yang dijabarkan dan disebarluaskan oleh murid-muridnya memiliki arti penting bagi pembentukan karakter keindonesiaan. Hal ini tentu sangat penting untuk dipelajari generasi muda yang semakin dipengaruhi oleh dampak negative globalisasi. Bagaimana kemudian arti penting pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani bagi generasi muda saat ini? Tulisan ini mencoba memberikan penjelasan mengenai hal tersebut.

III. PEMBAHASAN

A. Biografi Syekh Nawawi al-Bantani Syekh Nawawi al-Bantani lahir pada tahun 1230 H / 1813 M di Desa Tanara, Tirtayasa, Serang, Banten. Beliau sejak kecil sudah di didik oleh ayahnya sendiri yang bernama Umar bin ‘Arabi tentang ilmu agama. Disaat masih kecil diusia 8 tahun pun Syaikh Nawawi memilki kecerdasan yang luar biasa, sehingga ayahnya memindahkannya ke pesantren di Jawa. Dia berguru kepada Kyai Syahal (Banten), setelah itu ke Kyai Yusuf (Purwakarta). (https://sabrial.wordpress.com/syaikh-nawawi-al-bantani-1/ diakses pada 26 September 2016) Pada usia 15 tahun, Syaikh Nawawi sudah mengajar banyak orang. Pada usia itu pula Syaikh Nawawi menunaikan haji pada tahun 1828 M dan memutuskan berguru kepada sejumlah ulama di Mekkah dan Madinah. Tiga tahun lamanya ditanah suci di tahun 1831 M, akhirnya beliau pulang ke kampung halamannya di Banten. Sesampainya ditanah air, beliau menyaksikan ketidakadilan dimana-mana oleh pemerintah Hindia Belanda. Sebagai seorang yang lahir di Indonesia, Syaikh Nawawi pun juga mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Berbeda dengan yang lain, ia mengobarkan semangat patriotisme dan nasionalisme lewat ceramahnya dimasjid-masjid. Akhirnya pihak Belanda pun mengetahui gerak-gerik Syaikh Nawawi, sehingga Belanda membatasi dakwah-dakwahnya tersebut. Ia pun akhirnya terpaksa menyingkir dan memutuskan untuk kembali ke Mekkah pada tahun 1836 M dan bermukim disana tepatnya di Syi’ib ‘Ali, dan dari situ beliau mengajar dihalaman rumahnya. Mula-mulanya muridnya hanya sedikit, tapi lambat laun murid dari Syaikh Nawawi semakin banyak bahkan sempai ke penjuru dunia, dan tak lupa ada muridnya yang dari Indonesia juga yaitu K.H Hasyim Ashari (pendiri Nahdlatul Ulama), K.H Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), Syaikh K.H Mas Abdurrahman (pendiri Mathla’ul Anwar), K.H Khalil Bangkalan, K.H Asnawi Kudus, Syaikh Tubagus Ahmad Bakri as-Sampuri Sempur, K.H Arsyad Thawil, dan Kiai Hasan Genggong. Dari murid-muridnya itulah Syaikh Nawawi terus mengobarkan semangat patriotisme dan nasionalisme kepada penduduk Indonesia. Ulama asal Mesir, Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kitabnya Al-Durus min Madhi al-Ta’lim wa Hadlirih bi al-Masjidil al-Haram, menulis bahwa Syaikh Nawawi sangat produktif hingga karyanya mencapai seratus judul lebih, melalui berbagai disiplin ilmu. Banyak karyanya pula yang berupa syarah atau komentar terhadap kitab-kitab klasik. Jumlah tersebut begitu banyak mengingat umurnya hidupnya hanya 83 tahun, yakni lahir tahun 1813 M dan wafat pada tahun 1897 M. Sebagai ulama yang termashyur, beliau pun memiliki ilmu yang dalam, rendah hati, tidak congkak dan rela berkorban demi bangsa dan agama. Beliau pun mendapatkan bermacam-macam gelar ataupun penghargaan, penghargaan tersebut yakni; Min ‘Ayan ‘Ulama al-Qarn al-Arabi al-Ashar li al-Hijrah (tokoh ulama abad ke 14 Hijrah) dalam kitab Nihayah al-Zayn fi Irsyhad al-Mubtadi’in. Sebutan ini pula yang dinyatakan oleh Yusuf Allan Sarkis dalam kitabnya Mu’jam al-Matbu’ah al-Arabiyyah wa al-Mu’arrabah sebagai Imam al-Muhaqqiq wa al-Fahm al-Muhaqqiq tersebut dalam kitab Tijan al-Darari. Gelar yang diberikan oleh Syaikh Nawawi, yaitu; Imam al-Ulama al-Haramain (tokoh ulama di dua tanah suci: Mekah dan Madinah), Syaikh al-Masyayikh li Nasyr al-Ma’arif al-Diniyyah fi Mekah al-Mukharramah (Guru besar dalam bidang ilmu-ilmu agama di kota suci Mekah), Sayyid ‘Ulama al-Hijaz (Penghulu ulama Hijjaz), Sayyid al-Fuqaha’ wa al-Hukama’ al’Mutaakhirin (Penghulu ulama fiqih dan cendekiawan modern). Itulah gelar-gelar yang diberikan oleh Syaikh Nawawi. B. Kondisi Generasi Muda di Era Global Kita mengetahui bahwa arus globalisasi sudah semakin luas dan generasi muda saat ini juga sudah terkena dampaknya. Globalisasi memberikan dampak positif maupun negatif. Dampak positif seperti teknologi semakin canggih, misal; laptop, smartphone, iPhone, tablet dan sebagainya. Sementara itu dampak negatif globalisasi antara lain budaya pakaian, tingkah laku, pergaulan bebas, dan bahkan seks bebas. Arus globalisasi negatif bagaimanapun harus kita bendung dan kita waspadai, sebab itu menjadi salah satu pemicu hilangnya identitas bangsa. Kita sebagai generasi muda harus pintar memilih dan memilah budaya maupun pergaulan agar tak terjerumus ke dalam arus globalisasi, dan tak luput juga kita sebagai orangtua harus jeli dan selalu mengawasi anak-anak kita untuk masa depan dirinya bahkan masa depan bangsa ini. Arus globalisasi yang semakin deras tentu snangat mempengaruhi kehidupan bangsa Indonesia. Hal tersebut tercermin dari teknologi, pakaian, tingkah laku, budaya, dan agama, dari yang tua ke yang muda, dari yang dewasa ke yang remaja bahkan anak-anak pun juga terkena dampak dari globalisasi. Di Indonesia, khususnya remaja sudah terjadi perubahan tingkah laku dan juga maraknya pergaulan bebas bahkan sampai ke seks bebas. Sungguh ironis fakta yang dilihat sekarang ini, dampak negatif dari globalisasi membuat identitas bangsa Indonesia menjadi terkena imbasnya juga. Seperti masuknya film dan musik yang tidak sesuai dengan moral bangsa, jiwa individualisme semakin meningkat, kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin semakin meningkat, budaya tradisional semakin tidak dikenali karena masuknya budaya asing, nilai-nilai budaya bangsa semakin menurun, akulturasi budaya yang tidak tersaring cenderung memberi dampak yang kurang baik, pudarnya rasa nasionalisme dan patriotisme, pergaulan remaja yang memburuk, berkembangnya kebiasaan money politics, timbulnya sikap arogansi politik, timbulnya beberapa gerakan separatisme, terjadinya pelanggaran teritorial negara Republik Indonesia, mudahnya mendapatkan barang ilegal seperti narkoba, dan masih banyak lagi dampak negatif dari globalisasi. Di sisi lain, generasi muda saat ini kurang pengetahuannya tentang ilmu agama. Padahal ilmu agama itu sangat penting dijadikan benteng agar tidak mudah terjerumus ke dalam dampak negatif arus globalisasi. Hal ini menunjukkan pentingnya penyaring atau filter bagi generasi muda agar tidak terpengaruh oleh dampak negative globalisasi. C. Relevansi Pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani terhadap Pembentukan Karakter Keindonesiaan di Generasi Muda Sebagaimana yang telah disampaikan pada uraian sebelumnya, Syaikh Nawawi al-Bantan imerupakan tokoh yang memilki peranan penting dalam sejarah Islam di Indonesia. Peran Syaikh Nawawi al-Bantani tidak hanya terbatas dalam bidang tersebut, namun juga pada pembentukan karakter keindonesiaan. Pengaruh besar Syaikh Nawawi al-Bantani inilah yang kemudian menarik untuk dikaji lebih lanjut. Sebagai seorang yang lahir di Indonesia, Syaikh Nawawi al-Bantani tidak pernah sekalipun melupakan tanah airnya tersebut. Kecintaan Syaikh Nawawi al-Bantani terhadap tanah air ditunjukkan selama ia berada di Mekkah. Selama di Mekkah ia sangat terbuka menerima santri-santri yang dating dari Indonesia untuk belajar ilmu agama. Syaikh Nawawi al-Bantani mengajarkan banyak ilmu kepada santri-santrinya tersebut. Berbagai macam ilmu serta ajaran yang berasal dari Syaikh Nawawi al-Bantani itulah yang kelak disebarluaskan oleh murid-muridnya di tanah air. Beberapa murid Syaikh Nawawi al-Bantani antara lain KH. Hasyim Asy’ari, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan lain sebagainya (Muplihin, 2008 :43). KH Hasyim Asy’ari merupakan pendiri Organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Sementara Ahmad Khatib al-Minangkabawi merupakan ulama besar dari Minangkabau yang memiliki banyak murid. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat betapa besarnya pengaruh yang dimiliki Syaikh Nawawi al-Bantani terhadap perkembangan Islam maupun masyarakat Indonesia secara umum. Dalam kitab syarah Qomi’u al-Tughyan ala Mandzumati al-Ima (syarah ini menjelaskan nadzham Syeikh Zainuddin bin Ali bin Ahmad al-Malibari al-Syaukani yang berisi 72 cabang keimanan), Syeikh Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwa kaum Muslim wajib menjaga kedaulatan Negara (Murabathah) dari serangan kaum non-muslim (dalam konteks ini adalah penjajah). Hal ini didasarkan dari hadist Nabi yang berbunyi ‘menjaga kedaulatan satu hari itu lebih baik dari dunia dan seisinya’ (Nawawi al-Bantani, tanpa tahun: 10). Pada cabang selanjutnya Syaikh Nawawi al-Bantani menjelaskan bahwasannya seorang Muslim diwajibkan untuk bertahan (Tatsabbut) di waktu peperangan dan tidak meninggalkan barisan orang Muslim di medan peperangan. Salah satu contohnya tapraktek dari pemikiran Syaikh Nawawi al-Bantani tersebut adalah dengan dikeluarkannya Resolusi Jihad oleh pendiri Nahdlatul Ulama, K.H. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945 (http://tebuireng.org/teks-resolusi-jihad/ diakses pada 25 September 2016). Resolusi tersebut dikeluarkan oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai respon terhadap upaya Belanda yang dibantu oleh tentara sekutu untuk menguasai kembali Indonesia. Pada waktu itu kalangan pondok pesantren serta masyarakat Indonesia secara umum mulai khawatir terhadap upaya Belanda tersebut. K.H. Hasyim Asy’ari yang memahami kondisi masyarakat tersebut kemudian mengeluarkan Resolusi Jihad. Resolusi tersebut disepakati pada Rapat Besar konsul NU se-Jawa dan Madura di Surabaya, JawaTimur. Secara umum, isi Resolusi Jihad tersebut menyerukan kepada umat muslim untuk ikut mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapaun sebagian isi dari Resolusi Jihad tersebut antara lain: 1. Bahwa oleh pihak Belanda (NICA) dan Djepang jang dating dan berada di sini telah banjak sekali didjalankan kedjahatan dan kekedjaman jang menganggoe ketentraman oemoem. 2. Bahwa semoea jang dilakoekan oleh mereka itu dengan maksoed melanggar kedaoelatan Negara Repoeblik Indonesia dan Agama, dan ingin kembali mendjadjah di sini maka beberapa tempat telah terdjadi pertempoeran jang mengorbankan beberapa banjak djiwa manoesia. 3. Bahwa pertempoeran-pertempoeran itoe sebagian besar telah dilakoekan oleh Oemmat Islam jang merasa wadjib menoeroet hoekoem Agamanja oentoek mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Agamanja. 4. Bahwa di dalam menghadapai sekalian kedjadian-kedjadian itoe perloe mendapat perintah dan toentoenan jang njata dari Pemerintah Repoeblik Indonesia jang sesoeai dengan kedjadian terseboet. (http://tebuireng.org/teks-resolusi-jihad/diakses pada 25 September 2016) Isi Resolusi Jihad tersebut dipengaruhi oleh ajaran Syaikh Nawawi al-Bantani untuk mempertahankan kedaulatan agama serta tanah air. Hal tersebut wajar mengingat K.H. Hasyim Asy’ari merupakan salah satu murid dari Syaikh Nawawi al-Bantani. Resolusi Jihad ini menjadi contoh pengamalan ajaran Syaikh Nawawi yang disampaikan kepada K.H. Hasyim Asy’ari dalam menghadapi persoalan yang dihadapi oleh umat muslim serta bangsa Indonesia pada masa itu. Isi Resolusi Jihad tersebut menunjukkan tekad kuat umat Islam terutama Nahdlatul Ulama yang kala itu dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari dalam menghadapi ambisi penjajah asing untuk menguasai Indonesia. Resolusi tersebut dengan jelas dan tegas menyatakan sikap umat Islam Indonesia untuk membela kedaulatan Negara serta kedaulatan agama dari pengaruh negatif yang berasal dari luar. Kebulatan tekad umat muslim untuk berjihad melawan penjajah asing inilah yang seharusnya mampu dipahami serta dipraktekkan kembali oleh anak muda saat ini sesuai dengan kondisi zaman saat ini. Resolusi Jihad tersebut memiliki dampak yang sangat luas di kalangan umat muslim. Segara setelah itu umat muslim terutama yang berasal dari kalangan pesantren berbondong-bondong mempersiapkan dirinya untuk melaksanakan jihad mengahadapi penjajah Belanda tersebut. Para santri bahkan kyai terlibat langsung dalam aksi jihad tersebut. Mereka terlibat langsung dalam pertempuran dan bergabung dengan laskar-laskar rakyat dari berbagai golongan lain untuk mengahadapi penjajah. Salah satu pertempuran besar yang terjadi pada masa itu adalah pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Perjuangan para kyai serta santri dalam menghadapi para penjajah yang berusaha menjajah kembali Indonesia patut dijadikan contoh bagi generasi muda saat ini. Semangat untuk menjaga kedaulatan tanah air serta agama merupakan suatu semangat yang didasari pada rasa cinta tanah air serta kepatuhan terhadap ajaran agama yang dianut. Generasi muda saat ini harus dapat menumbuhkan kembali jiwa nasionalisme tersebut. Nasionalisme saat ini tidak harus berarti melawan bangsa asing secara fisik. Penerapan nasionalisme di kalangan generasi muda saat ini harus sesuai dengan kondisi zaman sekarang. Dengan demikian, generasi muda saat ini harus belajar serta lebih memahami perkembangan zamannya sehingga dapat mempraktekkan jiwa nasionalisme dalam kehidupan sehari-hari. Pembentukan karakter yang terinspirasi dari perjuangan para kyai dan santri merupakan hal yang harus dilakukan oleh generasi muda masa kini. (contoh pelaksanaan nasionalisme) Lebih lanjut, pada masa kini bentuk penjajahan sangatlah beragam. Salah satunya yang dapat kita amati adalah bentuk penjajahan kebudayaan dan pemikiran yang tidak membangun identitas kebangsaan. Pemuda Indonesia sekarang dilanda ombak informasi yang tak terbendung. Kasus yang dapat dirasakan adalah adanya suatu citra ke-Korea-an (kebanggaan dengan pemaikaian atribut yang berhubungan dengan Korea), entah itu bahasanya, cara berpakainya, atau yang paling banyak adalah budaya K-Popnya. Nasehat Syeikh Nawawi dalam Qomiut Tughyan caban ke-41 pembersihan (Ihtiraz) dari hal-hal yang manfaatnya kurang (al-La’ib). (Nawawi al-Bantani, tanpa tahun: 13) Pada kenyataanya, aspek globalisasi sangat penuh risiko.Dua  sifat yaitu postif dan negatif yang dibawanya perlu menggunakan penyaring dalam penerimaannya. Jadi, semangat dalam penerimaan atas hal baru yang baik juga tidak ditinggalkan (mahafadztualaqodim al-Sholih, wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah). Globalisasi tentu saja mustahil dihindari, oleh karena itu kita perlu memilah mana pengaruh yang bias diterima dan mana yang harus ditolak. Dengan demikian, generasi muda saat ini perlu lebih memahami berbagai macam aspek positif serta negatif dari globalisasi. Sudah selayaknya generasi muda saat ini mempelajari pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani tersebut. Pemikirannya yang mengedepankan rasa nasionalisme merupakan hal yang sangat penting dalam menghadapi berbagai tantangan zaman. Karakter inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap generasi muda saat ini. Karakter keindonesiaan harus dapat dibangun sejak dini agar bangsa Indonesia terutama generasi muda tidak kehilangan jati dirinya sebagai suatu bangsa. Dengan demikian, pemikiran Syekh Nawawi al-Bantani dapat digunakan sebagai penyaring serta penguat jati diri generasi muda sebagai bagian dari bangsa Indonesia.

IV. KESIMPULAN

Bila dihubungkan dengan kenyataan generasi muda saat ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa generasi muda harus lebih ditekankan pada pengetahuan agama. Karena ilmu agama sangat penting untuk membentuk karakter generasi muda supaya menjadi generasi muda yang patriotisme, nasionalisme, rela berkorban untuk agama dan bangsa. Di lain sisi, ilmu agama juga sangat penting untuk kehidupan. Karena tanpa ilmu agama, hidup menjadi tidak terarah dan tidak punya pegangan apa-apa. Contohnya generasi muda sudah terkena dampak negatif dari globalisasi, seperti pergaulan bebas dan bahkan sampai ke seks bebas. Kita tidak bisa terbebas dari yang namanya globalisasi. Untuk mencegahnya harus sejak dini dan dengan menerapkan pengetahuan ilmu agama yang memumpuni. Pertama kali untuk membentuk karakter generasi muda dengan pengetahuan ilmu agama ya dari keluarga itu sendiri. Karena bagaimanapun keluarga sebagai pintu awal untuk memperkenal pengetahuan tentang ilmu agama khususnya para orangtua. Karena ada perumpaman bahwa “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, begitu juga dengan anak dan orangtua. Beberapa persen anak akan meniru segala sesuatu itu dari orangtuanya sendiri dan selebihnya ada faktor luar yang mempengaruhi pribadi anak. Jadi, para orangtua juga harus menerapkan pengetahuan ilmu agama agar anak bisa membentengi dampak negatif dari globalisasi tersebut.

V. REFERENSI [1] https://id.m.wikipedia.org/wiki/Nawami_al-Bantani#cite_ref-5 [2] http://qisshoh.blogspot.com/2014/02/karomah-imam-nawawi-al- bantani.html?m=1 [3] https://sabrial.wordpress.com/syaikh-nawawi-al-bantani-1/ [4] Rokhim, Nur.2015.Kiai-kiai Kharismatik dan Fenomenal.Yogyakarta: Penerbit IRCiSoD [5] Syeikh Nawawi al-Bantani ‘Qomi’u al-TughyanalaManzdumat al-Syuab al-Iman’, (Semarang Toha Putra), hlm 10.